Minggu, 11 Oktober 2015

CITA-CITA KAWAN


Sapi Australia
Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, pernah Pak Iwin, guru bahasa Indonesia meminta kami menyebutkan dua buah cita-cita. Kami pun menjawab dengan bangga. Seperti Zam dengan cita-citanya ingin menjadi seorang politisi dan pengibar bendera pusaka di Jakarta. Likwan ingin menjadi seorang sarjana dan bertemu David Beckam. Kalimah bercita-cita menjadi dokter mata dan staf pegawai ticketing pesawat terbang.
Aisah Nurjani punya impian besar suatu saat bisa berdakwah tentang Islam ke seluruh pelosok dunia sekaligus juga menjadi penjahit pakaian. Kawan-kawan kami lainnya juga menyebutkan cita-cita yang hebat lainnya.
           Melenceng jauh dengan jawaban Teri Capung bin Musridi. Ketika ia ditanya tentang cita-cita, Capung menjawab dengan santai, “Beli mau sapi dari Australia, Pak?” Pak Iwin dan kami pun terbawa terkekeh mendengarkannya. Capung tak punya impian lain selain membeli sapi dari Australia. Impian itu seperti magnet menempel di tiang bendera, tak mau lepas ingatannya dari sapi.

           Capung termasuk seorang lelaki pemegang amanah. Kata ayahnya, sejarah nama Teri Capung itu tercipta karena ibunya pernah minta dicarikan capung dan teri beberapa waktu hendak melahirkan. Capung lahir agak dramatis, yakni sembari berjuang melahirkan sang ibu melahap capung dan ikan teri guna memperlancar keluarnya jabang bayi.

           Kabar baiknya, semenjak usia enam tahun Capung pandai bergoyang gaya India. Tubuh kurus itu pandai sekali meliuk-liukkan badan macam lintah sawah. Kepalanya persegi, giginya agak maju, ia juga bangga dengan kepala botak sedikit menyisakan rambutnya di ubun-ubun seperti jambul ayam jago, kurang lebih ia seperti bocah pencuri bernama Tuyul pencetus perubahan gaya. Karena badannya sejak kecil kerempeng sehingga kami menyapa dengan nama panjangnya.

           “Nanti kalaulah punya uang segunung, aku datangkan sapi Australia sesuai amanah kakekku. Aku nak jadi juragan sapi, aku tak mau kecewakan almarhum kakek,” katanya dengan semangat.

            Selain sejarah nama, dramatis kelahiran, dan gaya yang unik, Capung memiliki satu hobi, yaitu sering berlama-lama di belakang balai Sabtu, tepatnya di kawasan pasar ternak. Ia mengamati setiap juragan-juragan melaksanakan proses jual beli. Capung senang berada di pasar ternak bahkan seharian berada di pasar ternak sama halnya ia bertamasya ke pantai.
            Akibat terlalu terobsesi dan menyayangi segala hal berhubungan dengan sapi, Capung nekat menghampiri seorang juragan agar memberinya pekerjaan. Hobinya itu membawa berkah, akhirnya Pak Wo Murasman nama seorang juragan, ia kasihan melihat Capung hanya bermenung mengamati pergerakan sapi-sapi, hasilnya Capung diperbolehkan kerja setelah pulang sekolah. Pekerjaannya membersihkan kandang sapi, dia tidak jijik, baginya pekerjaan itu adalah sebuah penghormatan besar.
            “Sekarang bolehlah aku kerja membersihkan kandang sapi, tapi sebentar lagi aku pasti jadi juragan sapi,” kata Capung saat kami berkumpul di tepi sungai.
            “Tak jijik kau, Pung? Kandang sapi baunya minta ampun,” jawabku sambil menekan hidung.
            “Kalian harus tahu kotoran sapi itu berguna banyak bagi kita. Pertama bisa jadi pupuk kandang, di luar negeri orang jadikan biogas, bahan bakar, pembangkit listrik, dan aku lupa untuk apalagi. Jelasnya nanti aku baca lagi di buku Pak Wo Murasman, aku ingin membantu Pak Wo Murasman dengan rencananya akan menjadikan kotoran sapi yang hampir dua ton setiap bulannya itu dijadikan sumber listrik untuk perdesaan yang ada di lereng bukit. Jadi ini tugas mulia amanah kakekku.”
            “Mantap betul itu, Pung?”
            “Satu lagi aku hampir lupa, aku ada juga rencana mau membujuk Pak Wo Murasman datangkan sapi dari Australia, tapi aku belum berani bilang ke dia.”
            “Memangnya kau pernah lihat sapi dari Australia bentuknya macam apa?”
            “Belum juga, kata kakekku sapi Australia itu tahan banting dan kuat. Pesan kakekku kalau mau jadi juragan, aku harus jadi juragan sapi khusus menjual sapi dari Australia.”
            Mendengarkan Capung membahas cita-cita terhebatnya, Zam dan Likwan lebih dulu angkat kaki. Sejak kelas enam SD Capung mengabdikan diri bersama Pak Wo Murasman. Ia bekerja dengan hati gembira, sedikit demi sedikit upah hasil kerja ia tabung demi sebuah impian sederhana: membeli sapi dari Australia.

1 komentar: