Senin, 07 Maret 2016

AYAH DAN SEBATANG POHON MANGGA

Bersama turunnya hujan aku terlempar menuju kenangan tujuh tahu lalu. Ketika itu aku berumur 13 tahun, setiap hujan turun Ayah selalu berkata, " Muara, pergilah keluar amati hujan yang turun." Dengan sekejab aku sudah berada di mulut pintu mengamati derasnya hujan menghunjam tanah. Pepohonan bergerak   diterpa angin, sesekali tampak garis putih di atas langit, hilang dan timbul lagi sesukanya.

Dari kecil aku diajarkan mencintai hujan tanpa bertanya kepada Ayah arti hujan yang sesungguhnya. Suatu malam amat gigil, hujan turun pukul dua dini hari Ayah membangunkanku. Dengan tenang ia menarik selimut dan menggendongku ke arah jendela kamar. Ayah membuka jendela kemudian memintaku membuka mata secara perlahan.
"Lihatlah hujan pagin ini, Nak."
"Aku ngantuk, Yah."
"Lihatlah sebentar saja."


Ayah menurunkanku dari punggungnya. Ayah menunjuk pohon Mangga yang ia tanam minggun lalu, tepat di depan jendela. Pohon itu masih kecil sekali, bahkan lebih besar jari kelingku, tingginya pun sekitar 30 Cm. Entah apa maksud Ayah menyuruh amati pohon mangga , sedangkan ia tahu bahwa aku tidak menyukai buah mangga. Sebab waktu SD dulu aku pernah hampir tertelan biji mangga. Untunglah saat kejadian Ayah dengan tangkas memukul-mukul kepalaku dan menarik biji mangga yang tersangkut di ujung tenggorokan itu.

Ayahku seorang petani yang penuh semangat menjalani hari-harinya. Padahal ia seorang sarjana Ekonomi, pernah mendapatkan tawaran kerja di kota Kabupaten Kerinci sebagai Manager sebuah Bank Swasta. Namun ia menolak dengan halus dan memilih jadi petani saja. Begitu pun ketika datang Pak Pos membawa surat panggilan kerja dari PT perkebunan sawit di Provinsi Jambi sana, lagi-lagi dengan penuh pertimbangan Ayah tak mengindahkan undangan.

"Ilmu yang Ayah punya tak akan berarti apa-apa tanpa bersama ibumu dan kamu. Kalau Ayah terima tawaran itu otomatis Ayah harus tinggal di kampung orang dan akan jarang pulang," begitu jawab Ayah saat aku tanya alasan ia tak menerima tawaran kerja dari instansi.

"Kan aku dan Ibu bisa ikut Ayah."
"Ayah lebih senang kita bisa sama-sama di rumah ini, terutama kamu, Ra. Ayah senang bisa tiap hari lihat kamu."
" Tapi ...."
"Buat apa ayah jauh-jauh di sini aja Ayah sudah bahagia sama kalian," katanya sambil merangkulku.

Sebagai anak kecil yang baru menginjak masa remaja aku belum paham setiap kebijakan yang diambil Ayah. Satu hal yang masih terkenang, ia berkata,"Sekolah tinggi-tinggu itu untuk mencari ilmu dan bermanfaat bagi orang banyak, bukan untuk dapat pekerjaan bagus." Aku hanya menganguk satu kali mendengar penjelasannya. "walau Ayah jadi petani, alhamdulillah kita bisa buat rumah sederhana dari hasil tani dan Insya Alloh ayah masih bisa sekolahkan kamu sampai kuliah nanti."

Semua yang dikatakan Ayah perlahan membuka pikiranku. Melihat Ayah hidup bersosial dengan warga desa. Membantu warga membangun rumah. Kadang juga mengajarkan kawan sesama petani dalam pemilihan benih, penanaman, penjagaan air sawah, sampai  tata cara panen. Semua itu ia ajarkan sesuai pengalamannya bertani selama bertahun-tahun. Juga tak luput membantu pegelolaan dana desa menjadi lebih bermanfaat. Seperti yang pernah Ayah lakukan membentuk sebuah koperasi desa yang sangat berguna bagi warga.

                                                                       *****
Sore ini hujan kembali turun tak begitu lebat. Aku tahu Ayah pasti akan mengetuk pintu, menyuruh keluar dan memandangi hujan. Sebelum ia mengetuk pintu aku langsung keluar dari kamar, menghampiri Ayah yang tengah duduk sembari menulis susunan kegiatan desa untuk menyambut acara Maulid Nabi.
"Muara pergilah ke dekat pintu itu, lihatlah hujan. Lihat juga pohon mangga masih ada apa tidak."
"Siap, Ayah."
"Eh ... eh tunggu dulu! Ambil pupuk kandang belakang pintu, tabur di sekeliling batangnya ya!"
"Siap, Ayah."
"Jangan main hujan, pakai payung." Ayah berdiri mengambilkan payung.

Tangan kanan menjinjing plastik pupuk kandang, tangan kiri pegang payung. aku berjalan di antara rintik hujan. terdengar suara percikan air mengenai payung. Amat sahdu terdengar. Aku menabur pupuk kandang sesuai perintah Ayah. Sama sekali tak merasakan apa-apa dan tak habis pikir kenapa Ayah begitu sayang kepada pohon mangga ini. Hampir tiap hari Ayah merawat dan seolah tak ingin pohon mangga ini mati begitu saja.

Next time ........
















0 komentar:

Posting Komentar