
Awal tahun 1900, saat itu Indonesia masih jajahan belanda. Kehadiran seorang
makhluk aneh gemparkan kampung Kerinci. Makhluk asing itu membunuh semua hewan
peliharaan warga. Kambing, sapi, ayam, bebek, bahkan telor ayam yang tidak lama lagi akan
menetas juga hilang, semua tak tersisa.
Kejadian tersebut pernah dianalisis oleh para petuah adat. Ditemukannya hewan mati
secara mendadak dan sebuah jejak kaki yang aneh. Jejak kaki terbalik yang sangat lebar,
jarak jari kakinya rata-rata 2 cm, jempol kakinya mendominasi mencapai tiga kali lebih besar
daripada jempol kaki manusia biasa. Warga menganggap makhluk aneh ini adalah biang
kerok dari semua kejadian.
Hari-hari warga kampung Kerinci resah. Ketakutan andai makhluk yang tidak dikenal
itu kembali membuat onar lebih brutal. Membikin warga selalu waspada. Pada suatu malam
warga kampung Kerinci bergantian ronda demi keamanan. Tepatnya malam jumat, seorang
petugas ronda melihat sosok asing yang sangat mengerikan.
Benar saja, seorang makhluk mirip manusia, namun posturnya pendek serupa kurcaci,
dan berbulu lebat persis siamang. Dia membawa sebuah tombak bambu runcing. Jalannya
tegap seperti prajurit memasuki medan perang. Matanya tajam, membahayakan.
Petugas ronda memutuskan untuk membututi gerak-gerik makhluk asing itu. Akan
tetapi, gerakan petugas ronda begitu cepat diketahui. Makhluk berbulu itu pun dengan sigap
membalikkan badannya. Mengarahkan matanya mengamati petugas ronda, ia mengangkat
tombaknya, lalu berlari ke dalam hutan dengan langkah tergesa-gesa.
Keesokan harinya suasana kampung kerinci kian heboh. Petugas ronda memberitakan
semua penemuannya. Membuat warga gusar tak kepalang. Panik, terutama anak-anak. Petuah
adat pun memutuskan untuk mencari keberadaan makhluk asing yang tidak dikenal itu, jika
ditemukan mereka akan menangkap dan kalau perlu juga membunuhnya.
Oleh karena itu disiapkanlah perangkap. Petuah adat beserta rombongan masuk ke
hutan, tepatnya hutan dalam naungan Taman Nasional Kerinci Seblat. Mereka membawa
seekor ayam jantan dan seekor kambing dewasa. Ayam dan kambing tersebut diikat di sebuah
pohon beringin yang besar, lalu rombongan warga mencari tempat pengintaian.
Tepat pukul sebelas malam. Di dalam hutan yang gelap. Makhluk berbulu dengan
kaki terbalik itu tampak mendatangi perangkap yang sudah disiapkan. Petuah adat beserta
rombongan ketakutan. Sebab, bukan hanya satu makhluk saja, melainkan tampak 15 makhluk
berbulu menghampiri perangkap. Segerombolan makhluk asing tersebut semuanya bersenjata
tombak bambu yang runcing.
Malam itu tak satu pun dari rombongan petuah adat berani menjalankan misi. Alasan
keselamatan karena mereka tidak membawa senjata apa pun. Mereka hanya mengamati
makhluk-makhluk berkaki terbalik itu membantai ayam dan kambing dengan membabibuta.
Makhluk asing itu menyantap perangkap dengan ganas persis seperti singa memangsa rusa.
Seminggu setelah pengintaian, warga Kerinci yang dikepalai oleh petuah adat kembali
membuat sebuah jebakan. Kali ini mereka menyiapkan jaring-- -sejenis jala. Jaring tersebut
akan mereka gunakan untuk menangkap Uhang Pandak. mereka sengaja berangkat sejak pagi
hari, mencari tempat biasa Uhang Pandak berkumpul. Ditemukan banyak jejak kaki terbalik,
saat itu warga menyimpulkan : tempat kediaman Uhang Pandak.
Warga menyiapkan sepuluh jaring untuk alat menangkap Uhang Pandak. Hari sudah
siang, warga belum juga menemukan tanda-tanda kehadiran Uhang Pandak. Sampai malam
warga menungu kehadiran Uhang Pandak, namun tidak berhasil. Jangankan menemukan jati
diri Uhang Pandak, gerak-gerik asing pun tidak mereka temui.
Warga tidak pernah menyerah. Semakin banyak kejadian-gejadian yang merugikan
warga membuat mereka berambisi keras untuk menangkap Uhang Pandak. Warga menyakini
tidak ada penyebab lain dari semua yang terjadi menimpa penduduk setempat, kecuali ulah
yang disebabkan oleh Uhang Pandak.
Hari, bulan, tahun, bahkan sudah berganti-ganti generasi, warga Kampung Kerinci tak
henti mencari keberadaan Uhang Pandak, tetapi mendapatkan hasil mengecewakan : Uhang
Pandak yang meresahkan warga Kerinci tidak ditemukan.
Menurut kesaksian pakar kebudayaan, dulu, siang hari, pernah seorang warga Kerinci
melancong menuju hutan mencari kayu bakar, ia pernah melihat Komunitas Uhang Pandak.
Komunitas makhluk aneh ini sedang memakan sejenis bunga dari tumbuhan perdu yang
banyak tumbuh dan berkembang di Bukit Barisan. Bunganya mirip dengan bunga matahari
tapi berukuran lebih kecil. Daun tumbuhan itu sedikit gatal.
Pernah juga pemuda Kerinci meneliti jenis tumbuhan dan bunga yang dimakan Uhang
Pandak, tubuhan itu sejenis titonia. Tumbuhan memiliki kadar nitrogen yang tinggi. Banyak
petani menggunakan tumbuhan ini sebagai penutup tanah di lahan-lahan pertanian.
Anehnya ketika makan daging, ayam, rusa, kambing, dan sejenisnya, Uhang Pandak
ini tampak amat girang. Biasanya mereka menyantap sambil terlentang, kaki juga tangannya
sibuk mengupas bulu dan kulit, persis dibuat macam sedang bermain.
Warga memberi nama untuk makhluk asing itu dengan sebutan Uhang Pandak. Dalam
bahasa melayu Kerinci, Jambi, artinya seseorang mahkluk asing bertubuh pendek atau kerdil.
Di balik semua itu, kehadiran Uhang Pandak sudah secara turun-temurun dikabarkan
di dalam kebudayaan masyarakat "Suku Anak Dalam" atau yang dikenal dengan suku Kubu.
Pernah diterangkan bahwa suku Kubu sudah lama berbagi tempat tinggal dengan Uhang
Pandak di kawasan TNKS, tepatnya kawasan hutan Gunung Kerinci. Walaupun demikian,
jalinan sosial diantara mereka tidak pernah ada.
Sejak dahulu, suku anak dalam bahkan tidak pernah menjalin kontak langsung dengan
makhluk-makhluk berkaki terbalik ini, mereka sering dilihat oleh warga Kerinci, namun tidak
pernah sekalipun warga menyaksikan suku anak dalam ini bertemu dan berinteraksi dengan
Uhang Pandak.
Warga kampung Kerinci penasaran ingin mengetahui keberadaan komunitas Uhang
Pandak. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun hasilnya nihil, selalu gagal. Pernah mereka
menelusuri hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, tapi tidak pernah ditemukan, bagi warga,
Uhang Pandak ini sama halnya seperti makhluk halus, ketika dicari tidak pernah ditemukan,
saat tidak dicari mereka acapkali menampakkan diri di tempat yang tidak terduga.
Tahun 1900, keberadaan Uhang Pandak ini menarik perhatian beberapa warga negara
asing untuk mencari komunitas Uhang Pandak. Kesaksian dan laporan yang paling terkenal,
berita disampaikan Mr. Van Heerwarden tahun 1923. Van Heerwarden seorang zoologiest, ia
segaja datang ke kawasan Kerinci untuk mengadakan sebuah riset, juga termasuk mencari
keberadaan Uhang Pandak.
Van Heerwarden menuliskan suatu catatan mengenai pertemuannya dengan beberapa
makhluk gelap banyak bulu di badan. Tinggi tubuh digambarkan setinggi anak kecil, namun
dengan wajah lebih tua dan rambut hitam panjang sebahu. Van Heerwarden mengatakan
Uhang Pandak bukanlah spesies siamang, Uhang Pandak tidak jauh beda dengan manusia
biasa. Tatkala itu Uhang Pandak menyadari keberadaan dirinya, sehingga mereka menjauh.
Begitu pun yang dilakukan oleh warga Kerinci. Pada saat kehebohan mengenai Uhang
Pandak, mereka tiada henti menelusuri hutan membawa senjata berupa kayu dan kuju, sejenis
tombak, hasilnya tidak pernah memuaskan. Uhang Pandak sangat sulit ditemukan. Namun,
secara tiba-tiba kejadian hilang dan matinya hewan peliharaan masih menjadi misteri, sebab,
warga tidak pernah menemukan pelakunya secara langsung.
Sejauh ini Uhang Pandak masuk ke dalam salah satu studi Cryptozoology. Ekspediasi
pencarian Uhang Pandak sudah beberapa kali dilakukan di kawasan Kerinci, salah satunya adalah
ekspedisi yang di danai oleh National Geographic Society. Walaupun warga Kerinci setempat
menyakini keberadaan Uhang Pandak, namun tidak sekali pun mereka pernah diserang atau pun
melukai penduduk.
Kesusahan ditemukannya makhluk misteri berkaki terbalik ini, warga dan sebagian ilmuan
memandang dan menyimpulakan Uhang Pandak hanya sebagai mitos belaka, seperti halnya "Yeti" di
Himalaya dan monster "Loch Ness" Inggris Raya. Namun, tidak semua warga Kerinci, Jambi percaya
akan kesimpulan tersebut.
Pada zaman semakin modern seperti saat ini, setiap para pelancong atau turis datang
ke kampung Kerinci, mereka selalu saja bertanya tentang keberadaan Uhang Pandak, mereka
sangat penasaran akan spesies makhluk yang datang secara tiba-tiba ini dan menghilang tidak
jelas rimbanya.
Meskipun warga Kerinci resah akan penampakan Uhang Pandak yang sempat mebuat
ketakutan. Uhang Pandak secara turun menurun terkesan unik untuk selalu diingat. Hingga
hampir seluruh penduduk Kerinci mengetahui kisah Uhang Pandak. Banyak gambar-gambar
yang dirilis oleh para ilmuan mendeskripsikan wujud Uhang Pandak, sehingga Uhang Pandak
selalu dikenang kehadirannya pernah hidup di kawasan negeri yang indah, kaya alam, Taman
Nasional Kerinci Seblat. Kerinci, Jambi, sebuah negeri dengan julukan Sekepal Tanah Surga.
Gambar ilustrasi Uhang Pandak
0 komentar:
Posting Komentar