Selasa, 20 Oktober 2015

AKU MENUNGGU BAPAK

Ketulusan hatinya seperti sang surya yang tak pernah padam. Swir, dia adalah seorang ayah yang tak bisa melukiskan kasih sayang. Namun dalam hatinya, segenap jiwa dan raganya mengabdikan hidup hanya untuk Bahar. Tak peduli peluh sudah basahi seluruh tubuhnya. Tiap hari Swir malang-melintang di Sungai Batang Hari. Berharap bisa menyaksikan anaknya yang tak lama lagi hendak masuk sekolah dasar.

Bagi sebagian Ayah mendaftarkan anak masuk SD mungkin hal biasa.
Tapi berbeda dengan Swir, jiwanya bergetar semenjak Bahar mengucapkan keinginannya ingin sekolah. Swir mempunyai enam orang anak, seperti Mardan yang lebih utamakan menjadi tukang angkat di pasar pagi daripada sekolah. Zamto lebih memilih menjadi kernet mobil tambang antar kecamatan. Badun berdagang es lilin keliling kampung. Lusmawati berdagang sayur kangkung di pasar Kota Madya. Imah mengikuti pamannya berladang kentang di bukit. Dan Bahar anak lelaki paling bungsu yang menegaskan kepada ayahnya bahwa apa pun yang terjadi dia ingin sekolah.

"Berapa bapak keluarkan uang untuk daftarkan kau ke sekolah, Har?" tanya Swir dengan suara berat.
"Kata buk guru tak ada pakai biaya, Pak." Bahar menjawab datar.
"Ah, yang betul tak ada biaya, Har."
"Betul, aku tak bohong. Kata kawan-kawan yang penting pakai baju baru dan perlengkapan sekolah yang baru, Pak."

Malam itu setelah segelintir pertanyaan sederhana yang dijawab lugas oleh Bahar. Swir seakan tak percaya bahwa dia mempunyai seorang anak yang mempunyai keinginan sekolah. Tidak seperti abang dan kakaknya yang memilih mengasingkan hidup dari segala bentuk ilmu pengetahuan.

Betapa bahagianya Swir mendengar mimpi Bahar yang begitu besar. Semalam Bahar berkata kepada Swir,  jika sudah besar nanti dia ingin menjadi seorang pilot. Swir termenung mendengar impian anaknya. Sehingga Swir makin semangat bekerja. Biasanya dia masuk rimba dalam seminggu tiga kali. Sekarang ia makin menargetkan diri, tak tanggung-tanggung tiap hari ia pasrahkan hidup bersama Sungai Batang Hari.

Semenjak ibu Bahar meninggal satu tahun yang lalu, Swir menghidupi enam orang anak dengan susah payah. Untunglah lima orang anaknya sudah besar dan sudah bisa mencari biaya hidup masing-masing. Sehingga hidup Swir bisa terfokus hanya menyiapkan segala yang diperlukan Bahar selama sekolah bertahun-tahun nantinya. Meskipun kadang-kadang Swir juga tak melupakan tugasnya dalam menghidupi tiga orang abang dan dua kakak perempuan Bahar.

Kata warga pinggiran Sungai Batang Hari, ayah Bahar begitu semangat ketika tahu anak lelaki bungsunya hendak masuk sekolah. Berbeda dengan anak-anak pinggiran Sungai Batang Hari lainnya yang tak tertarik bersekolah. Bagi anak-anak itu sekolah tak berguna. Barangkali karena orang tua mereka yang buta akan ilmu pendidikan sehingga tak tahu cara menerangkan betapa berartinya menuntut ilmu pengetahuan.

Pukul lima subuh Swir sudah menjejakkan kaki di tanah. Berjalan menelusuri Sungai Batang Hari dengan golok di pinggang. Kurang lebih tiga belas kilometer Swir berjalan menemui kawasan perbukitan bambu. Swir menebang lima belas bambu tua setiap harinya lalu bambu tadi ia bentuk seperti rakit. Swir mengemudikan rakit pencariannya menyusuri arus sungai dan berhenti di dekat pasar Kecamatan. Sampai di pasar Kecamatan, seorang juragan penampung sudah siap untuk memborong seluruh bambu pencarian Swir.

Tidak banyak penghasilan Swir per-harinya. Satu batang bambu dibeli dengan harga 500, lima belas batang bambu hanya menghasilkan uang 7.500. Tentu hasil itu tak sebanding dengan kebutuhan hidup Swir menghidupi enam orang anak. Ditambah lagi resiko bercengkrama dengan sungai berair coklat yang konon banyak buaya. Namun Swir sudah menempah matinya, apa pun yang terjadi dia harus kuat dan terus semangat demi anak-anaknya, terutama Bahar yang tidak lama lagi akan mendaftar sekolah.

Esoknya rutinitas Swir berjalan seperti kuadradnya. Penghasilan tak berubah. Pakaian tak berganti. Harapannya tetap sama sebagai seorang ayah. Subuh ini Swir bangun lebih pagi, sebelum berangkat ia helus kepala Bahar, menciumninya, dan mengusap-ngusap kepalanya. Tersenyum Swir melihat wajah Bahar. Dalam aksinya tersebut, Bahar terbangun dan membalas senyuman ayahnya.

"Bapak hati-hati,"
"Iya bapak pasti jaga diri."
"Besok hari minggu, Pak. Besok bapak jadi belikan aku perlengkapan sekolah yang baru," tanya Bahar sambil bangun dari tidurnya.
"Tenanglah, besok kita beli di pasar Kecamatan, Har. Besok kau sudah punya baju, celana, tas, sepatu, dan buku baru." Swir kembali mengusap kepala Bahar.

Bahar mengantar ayahnya sampai ambang pintu. Memandang punggung ayahnya sampai hilang di jalan setapak desa. Bahar kembali masuk kamar mengambil poto almarhum ibunya di atas meja. Bahar mencium poto itu dan memeluk erat. "Mak, tak lama lagi aku sekolah," begitu ucap Bahar menyampaikan kesenangannya dengan bicara dengan poto kusam hitam putih.

Sementara Swir  sudah mengadukan hidupnya di bukit bambu. Pukul dua belas siang tiba-tiba langit menghitam, awan menghitam, matahari mulai redup. Baru delapan bambu yang sudah ditebang oleh Swir. Membutuhkan tujuh batang lagi untuk bisa dijadikan rakit. Sebelum hujan turun Swir bergegas menebang tujuh bambu lagi. Hujan mulai turun perlahan, membasahi tubuh Swir, keringat Swir makin menjadi bercampur air hujan. Swir tak meyerah meskipun cuaca menyulitkannya.

                                                            *****
Bahar menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan pesawat terbang. Kadang dia sedih karena tak pernah melihat pesawat secara langsung. Sebab memang tidak pernah ada pesawat yang melintasi kampung pinggiran Sungai Batang Hari. Bahar mempunyai sebuah koleksi yang dia dapat dari memecahkan celengan ayam jagonya. Hasil tabunganya itu dia belikan mainan pesawat terbang. Meskipun hanya sebuah mainan namun Bahar sangat menyayangi. Bahkan saat tertidur pesawat mainan itu selalu berada di sampingnya.

Impian Bahar ingin menjadi seorang pilot berawal dari Mardan yang baru pulang dari pasar membawa sebauh koran nasional. Dalam koran itu ada berita seorang putra bangsa sudah mampu berkarya untuk negaranya, yakni dengan membuat sebuah pesawat terbang. Dibawah poto putra bangsa tersebut tertulis sebuah nama: Bj Habibie. Bahar yang melihat koran itu sangat menikmati gambar pesawat, sedangkan dia tak paham apa yang sedang diceritakan dalam koran nasional tersebut.

"Bang apakah bapak ini bisa membuat peswat?" Bahar menunjuk gambar Bj Habibie yang berpose sederhana disamping pesawat terbang.
"Ya begitulah kata orang-orang di pasar, Har." Mardan menjawab sambil meneguk kopi.
"Aku mau seperti bapak ini, Bang."
"Tak mungkin kau bisa, Har."
"Kenapa tak mungkin?"
"Kita anak kampung manalah bisa buat pesawat, makan saja susah."
"Salah itu, Bang. Pokoknya kalau sudah besar nanti aku mau belajar baut pesawat." Bahar berlalu membawa mainan pesawatnya keluar rumah.

Mendengar ucapan Mardan yang mematahkan semangatnya. Bahar mendiamkan Mardan beberapa hari. Siapa saja yang menjengkali cita-citanya itu, Bahar tak mau bicara dengan mereka sepatah kata pun. Bahkan bapak kepala desa saja pernah dia lempar pakai buah rambutan ketika beliau berkata bahwa mustahil Bahar bisa mencapai keinginannya.

Hanya Swir yang percaya impian anaknya itu pasti tercapai. Meskipun terkadang bertolak dengan hatinya sendiri.  Di luar rumah Bahar main dengan kawan sebaya, dia mengabarkan kepada kawannya bahwa besok dia juga daftar sekolah. Anak berusia enam tahun itu begitu bergairah karena besok untuk pertamakalinya dia duduk di bangku pendidikan dasar.

Bahar anak yang periang, dia disukai oleh kawan-kawannya. Bahar juga suka menolong sesama kawan. Bahkan suatu hari Arif, anak kepala desa tertusuk paku saat mereka main di tepi sungai. Bahar mengendong Arif, dan mengantar ke rumahnya sambil terbungkuk-bungkuk. Sampai di rumah Arif, bapak kepala desa memberinya uang, namun Arif tegas menolak pemberian itu. Bapakku bilang menolong orang harus ikhlas, begitu jawaban Bahar menolak pemberian dengan sopan.

Arif berteman akrab dengan Bahar. Meskipun Arif termasuk keluarga yang punya segalanya, tapi ayahnya sudah menanamkan akhlak menjadi anak yang sederhana. Bahar dan Arif bisa dikatakan seiring dan sejalan. Mereka saling membantu, misalnya saat Bahar mencari kayu bakar di ladang, Arif juga ikut membantu. Begitu pun sebaliknya ketika Arif kesusahan membaca Iqrak saat mereka mengaji, maka Bahar yang sudah lumayan lancar membaca Iqrak dengan senang hati membantu.

Namun berbeda dengan Abay, anak kampung sebelah yang tak suka melihat Bahar. Ketidak sukaannya berawal dari lomba makan kerupuk di acara 17 Agustus. Bahar pemenang perlombaan itu. Abay dua tahun lebih tua dari Bahar. Selain karena kekalahan saat lomba 17 Agustus, Abay juga selalu merendahkan Bahar karena melihat keluarga Bahar terlalu miskin.

Pernah kejadian saat Bahar dan Arif main di kampung sebelah. Abay dan dua orang temannya menjegat, karena Abay merasa badannya lebih besar dan sudah duduk di kelas 2 SD, ia melempari Bahar dengan mercon. Meskipun demikian, Bahar tidak pernah membalas kelakuan Abay.

Hari ini Bahar memberitahu Arif bahwa nanti sore dia akan pergi ke pasar Kecamatan membeli perlengkapan sekolah. Arif senang karena besok senin mereka akan mendaftar sekolah. Senang karena tiap pagi mereka akan berangkat sokolah bersama. Senang hati sebab besok Arif diantar oleh ibunya dan Bahar akan diantar ayahnya. Bahar tak sabar lagi menunggu hari esok.

                                                             *****
Hujan deras yang mengguyur kampung Sungai Batang Hari membawa petaka. Pukul sepuluh malam hujan tak kunjung reda. Bahar masih setia menanti kepulangan ayahnya. Malam itu seorang pemuda karang taruna berpayung daun pisang menembus hujan, ia singgah ke rumah Bahar. Memeberi tahu bahwa Swir hilang di Sungai Batang Hari.
"Air bah datang, bapak kau tenggelam."
"Mana mungkin, Bang. Bapakku pasti balik bawa perlengkapan sekolahku." Bahar memandang Mardan seolah menginginkan Mardan berkata bahwa berita itu tidak benar.
"Abang tak bohong, Har. Ayolah ikut abang kalau kau tak percaya. Orang kampung masih ramai di tepian Batang Hari."

Mata Bahar berkaca-kaca. Perlahan Bahar menggigit bibir mungilnya.

Saat itu hanya Bahar dan Mardan yang ada di rumah. Abang beradik itu pun memastikan berita tersebut. Mereka datang ke pinggiran Batang Hari. Ternyata berita itu sungguh terjadi. Hanya rakit Swir yang ditemukan warga tersanggkut di sebuah batang besar. Swir hilang ditelan Sungai Batang Hari. Warga dan tim penyelamat sudah berusaha mencari Swir semalaman, berhari-hari, namun sampai saat ini jasad Swir tidak berhasil ditemukan. Seorang ayah dengan semangat menggebu ingin membelikan perlengkapan sekolah baru untuk anaknya itu sudah tiada.

Sekarang Bahar sudah besar, dia sekolah dengan prestasi-prestadi hebat. Meskipun demikian, setiap pulang sekolah Bahar tak pernah lupa singgah di tepian Sungai Batang Hari. Bahar berharap sebuah keajaiban bisa melihat ayahnya melambaikan tangan. Berharap ayahnya melihat bahwa dia sudah sekolah. Berharap ayahnya datang memberikan perlengkapan sekolah yang baru. Penuh harapan melihat seorang ayah dengan keringatnya datang memeluk, mencium, dan memberi semangat agar dia sanggup meraih impian.

Sampai pada hari ini, warga pinggiran Sungai Batang Hari selalu menemukan Bahar masih berseragam sekolah bermenung-menung di tepi sungai. Pukul dua siang Bahar duduk di tebing menghadapkan kepalanya ke arah hulu, sesekali mengayunkan kakinya. Dia akan pulang menjelang magrib. Begitu pun dengan hari-hari berikutnya. Satu yang pasti, Bahar sangat merindukan ayahnya.














0 komentar:

Posting Komentar