Ketulusan hatinya seperti sang surya yang tak pernah padam. Swir, dia adalah
seorang ayah yang tak bisa melukiskan kasih sayang. Namun dalam hatinya,
segenap jiwa dan raganya mengabdikan hidup hanya untuk Bahar. Tak peduli peluh
sudah basahi seluruh tubuhnya. Tiap hari Swir malang-melintang di Sungai Batang
Hari. Berharap bisa menyaksikan anaknya yang tak lama lagi hendak masuk sekolah
dasar.
Bagi sebagian Ayah
mendaftarkan anak masuk SD mungkin hal biasa.
Tapi berbeda dengan Swir, jiwanya
bergetar semenjak Bahar mengucapkan keinginannya ingin sekolah. Swir mempunyai
enam orang anak, seperti Mardan yang lebih utamakan menjadi tukang angkat di pasar
pagi daripada sekolah. Zamto lebih memilih menjadi kernet mobil tambang antar
kecamatan. Badun berdagang es lilin keliling kampung. Lusmawati berdagang sayur
kangkung di pasar Kota Madya. Imah mengikuti pamannya berladang kentang di
bukit. Dan Bahar anak lelaki paling bungsu yang menegaskan kepada ayahnya bahwa
apa pun yang terjadi dia ingin sekolah.
"Berapa bapak
keluarkan uang untuk daftarkan kau ke sekolah, Har?" tanya Swir dengan
suara berat.
"Kata buk guru tak
ada pakai biaya, Pak." Bahar menjawab datar.
"Ah, yang betul tak
ada biaya, Har."
"Betul, aku tak
bohong. Kata kawan-kawan yang penting pakai baju baru dan perlengkapan sekolah
yang baru, Pak."
Malam itu setelah
segelintir pertanyaan sederhana yang dijawab lugas oleh Bahar. Swir seakan tak
percaya bahwa dia mempunyai seorang anak yang mempunyai keinginan sekolah.
Tidak seperti abang dan kakaknya yang memilih mengasingkan hidup dari segala
bentuk ilmu pengetahuan.
Betapa bahagianya Swir
mendengar mimpi Bahar yang begitu besar. Semalam Bahar berkata kepada Swir,
jika sudah besar nanti dia ingin menjadi seorang pilot. Swir termenung
mendengar impian anaknya. Sehingga Swir makin semangat bekerja. Biasanya dia
masuk rimba dalam seminggu tiga kali. Sekarang ia makin menargetkan diri, tak
tanggung-tanggung tiap hari ia pasrahkan hidup bersama Sungai Batang Hari.
Semenjak ibu Bahar
meninggal satu tahun yang lalu, Swir menghidupi enam orang anak dengan susah
payah. Untunglah lima orang anaknya sudah besar dan sudah bisa mencari biaya
hidup masing-masing. Sehingga hidup Swir bisa terfokus hanya menyiapkan segala
yang diperlukan Bahar selama sekolah bertahun-tahun nantinya. Meskipun
kadang-kadang Swir juga tak melupakan tugasnya dalam menghidupi tiga orang
abang dan dua kakak perempuan Bahar.
Kata warga pinggiran
Sungai Batang Hari, ayah Bahar begitu semangat ketika tahu anak lelaki
bungsunya hendak masuk sekolah. Berbeda dengan anak-anak pinggiran Sungai
Batang Hari lainnya yang tak tertarik bersekolah. Bagi anak-anak itu sekolah
tak berguna. Barangkali karena orang tua mereka yang buta akan ilmu pendidikan
sehingga tak tahu cara menerangkan betapa berartinya menuntut ilmu pengetahuan.
Pukul lima subuh Swir
sudah menjejakkan kaki di tanah. Berjalan menelusuri Sungai Batang Hari dengan
golok di pinggang. Kurang lebih tiga belas kilometer Swir berjalan menemui
kawasan perbukitan bambu. Swir menebang lima belas bambu tua setiap harinya
lalu bambu tadi ia bentuk seperti rakit. Swir mengemudikan rakit pencariannya
menyusuri arus sungai dan berhenti di dekat pasar Kecamatan. Sampai di pasar
Kecamatan, seorang juragan penampung sudah siap untuk memborong seluruh bambu
pencarian Swir.
Tidak banyak penghasilan
Swir per-harinya. Satu batang bambu dibeli dengan harga 500, lima belas batang
bambu hanya menghasilkan uang 7.500. Tentu hasil itu tak sebanding dengan
kebutuhan hidup Swir menghidupi enam orang anak. Ditambah lagi resiko
bercengkrama dengan sungai berair coklat yang konon banyak buaya. Namun Swir
sudah menempah matinya, apa pun yang terjadi dia harus kuat dan terus semangat
demi anak-anaknya, terutama Bahar yang tidak lama lagi akan mendaftar sekolah.
Esoknya rutinitas Swir
berjalan seperti kuadradnya. Penghasilan tak berubah. Pakaian tak berganti.
Harapannya tetap sama sebagai seorang ayah. Subuh ini Swir bangun lebih pagi,
sebelum berangkat ia helus kepala Bahar, menciumninya, dan mengusap-ngusap
kepalanya. Tersenyum Swir melihat wajah Bahar. Dalam aksinya tersebut, Bahar
terbangun dan membalas senyuman ayahnya.
"Bapak
hati-hati,"
"Iya bapak pasti
jaga diri."
"Besok hari minggu,
Pak. Besok bapak jadi belikan aku perlengkapan sekolah yang baru," tanya
Bahar sambil bangun dari tidurnya.
"Tenanglah, besok
kita beli di pasar Kecamatan, Har. Besok kau sudah punya baju, celana, tas,
sepatu, dan buku baru." Swir kembali mengusap kepala Bahar.
Bahar mengantar ayahnya
sampai ambang pintu. Memandang punggung ayahnya sampai hilang di jalan setapak
desa. Bahar kembali masuk kamar mengambil poto almarhum ibunya di atas meja.
Bahar mencium poto itu dan memeluk erat. "Mak, tak lama lagi aku
sekolah," begitu ucap Bahar menyampaikan kesenangannya dengan bicara
dengan poto kusam hitam putih.
Sementara Swir
sudah mengadukan hidupnya di bukit bambu. Pukul dua belas siang tiba-tiba
langit menghitam, awan menghitam, matahari mulai redup. Baru delapan bambu yang
sudah ditebang oleh Swir. Membutuhkan tujuh batang lagi untuk bisa dijadikan rakit.
Sebelum hujan turun Swir bergegas menebang tujuh bambu lagi. Hujan mulai turun
perlahan, membasahi tubuh Swir, keringat Swir makin menjadi bercampur air
hujan. Swir tak meyerah meskipun cuaca menyulitkannya.
*****
Bahar menyukai segala
sesuatu yang berhubungan dengan pesawat terbang. Kadang dia sedih karena tak
pernah melihat pesawat secara langsung. Sebab memang tidak pernah ada pesawat
yang melintasi kampung pinggiran Sungai Batang Hari. Bahar mempunyai sebuah
koleksi yang dia dapat dari memecahkan celengan ayam jagonya. Hasil tabunganya
itu dia belikan mainan pesawat terbang. Meskipun hanya sebuah mainan namun
Bahar sangat menyayangi. Bahkan saat tertidur pesawat mainan itu selalu berada
di sampingnya.
Impian Bahar ingin menjadi seorang pilot berawal dari Mardan yang baru pulang dari pasar membawa sebauh koran nasional. Dalam koran itu ada berita seorang putra bangsa sudah mampu berkarya untuk negaranya, yakni dengan membuat sebuah pesawat terbang. Dibawah poto putra bangsa tersebut tertulis sebuah nama: Bj Habibie. Bahar yang melihat koran itu sangat menikmati gambar pesawat, sedangkan dia tak paham apa yang sedang diceritakan dalam koran nasional tersebut.
"Bang apakah bapak ini bisa membuat peswat?" Bahar menunjuk gambar Bj Habibie yang berpose sederhana disamping pesawat terbang.
"Ya begitulah kata
orang-orang di pasar, Har." Mardan menjawab sambil meneguk kopi.
"Aku mau seperti
bapak ini, Bang."
"Tak mungkin kau
bisa, Har."
"Kenapa tak mungkin?"
"Kita anak kampung
manalah bisa buat pesawat, makan saja susah."
"Salah itu, Bang.
Pokoknya kalau sudah besar nanti aku mau belajar baut pesawat." Bahar
berlalu membawa mainan pesawatnya keluar rumah.
Mendengar ucapan Mardan yang mematahkan semangatnya. Bahar mendiamkan Mardan beberapa hari. Siapa saja yang menjengkali cita-citanya itu, Bahar tak mau bicara dengan mereka sepatah kata pun. Bahkan bapak kepala desa saja pernah dia lempar pakai buah rambutan ketika beliau berkata bahwa mustahil Bahar bisa mencapai keinginannya.
Hanya Swir yang percaya impian anaknya itu pasti tercapai. Meskipun terkadang bertolak dengan hatinya sendiri. Di luar rumah Bahar main dengan kawan sebaya, dia mengabarkan kepada kawannya bahwa besok dia juga daftar sekolah. Anak berusia enam tahun itu begitu bergairah karena besok untuk pertamakalinya dia duduk di bangku pendidikan dasar.
Bahar anak yang periang,
dia disukai oleh kawan-kawannya. Bahar juga suka menolong sesama kawan. Bahkan
suatu hari Arif, anak kepala desa tertusuk paku saat mereka main di tepi sungai.
Bahar mengendong Arif, dan mengantar ke rumahnya sambil terbungkuk-bungkuk.
Sampai di rumah Arif, bapak kepala desa memberinya uang, namun Arif tegas
menolak pemberian itu. Bapakku bilang menolong orang harus ikhlas, begitu
jawaban Bahar menolak pemberian dengan sopan.
Arif berteman akrab
dengan Bahar. Meskipun Arif termasuk keluarga yang punya segalanya, tapi
ayahnya sudah menanamkan akhlak menjadi anak yang sederhana. Bahar dan Arif
bisa dikatakan seiring dan sejalan. Mereka saling membantu, misalnya saat Bahar
mencari kayu bakar di ladang, Arif juga ikut membantu. Begitu pun sebaliknya
ketika Arif kesusahan membaca Iqrak saat mereka mengaji, maka Bahar yang sudah
lumayan lancar membaca Iqrak dengan senang hati membantu.
Namun berbeda dengan
Abay, anak kampung sebelah yang tak suka melihat Bahar. Ketidak sukaannya
berawal dari lomba makan kerupuk di acara 17 Agustus. Bahar pemenang perlombaan
itu. Abay dua tahun lebih tua dari Bahar. Selain karena kekalahan saat lomba 17
Agustus, Abay juga selalu merendahkan Bahar karena melihat keluarga Bahar
terlalu miskin.
Pernah kejadian saat
Bahar dan Arif main di kampung sebelah. Abay dan dua orang temannya menjegat,
karena Abay merasa badannya lebih besar dan sudah duduk di kelas 2 SD, ia
melempari Bahar dengan mercon. Meskipun demikian, Bahar tidak
pernah membalas kelakuan Abay.
Hari ini Bahar
memberitahu Arif bahwa nanti sore dia akan pergi ke pasar Kecamatan membeli
perlengkapan sekolah. Arif senang karena besok senin mereka akan mendaftar
sekolah. Senang karena tiap pagi mereka akan berangkat sokolah bersama. Senang
hati sebab besok Arif diantar oleh ibunya dan Bahar akan diantar ayahnya. Bahar
tak sabar lagi menunggu hari esok.
*****
Hujan deras yang
mengguyur kampung Sungai Batang Hari membawa petaka. Pukul sepuluh malam hujan
tak kunjung reda. Bahar masih setia menanti kepulangan ayahnya. Malam itu
seorang pemuda karang taruna berpayung daun pisang menembus hujan, ia singgah
ke rumah Bahar. Memeberi tahu bahwa Swir hilang di Sungai Batang Hari.
"Air bah datang,
bapak kau tenggelam."
"Mana mungkin,
Bang. Bapakku pasti balik bawa perlengkapan sekolahku." Bahar memandang
Mardan seolah menginginkan Mardan berkata bahwa berita itu tidak benar.
"Abang tak bohong,
Har. Ayolah ikut abang kalau kau tak percaya. Orang kampung masih ramai di tepian
Batang Hari."
Mata Bahar berkaca-kaca.
Perlahan Bahar menggigit bibir mungilnya.
Saat itu hanya Bahar dan
Mardan yang ada di rumah. Abang beradik itu pun memastikan berita tersebut.
Mereka datang ke pinggiran Batang Hari. Ternyata berita itu sungguh terjadi.
Hanya rakit Swir yang ditemukan warga tersanggkut di sebuah batang besar. Swir
hilang ditelan Sungai Batang Hari. Warga dan tim penyelamat sudah berusaha
mencari Swir semalaman, berhari-hari, namun sampai saat ini jasad Swir tidak
berhasil ditemukan. Seorang ayah dengan semangat menggebu ingin membelikan
perlengkapan sekolah baru untuk anaknya itu sudah tiada.
Sekarang Bahar sudah
besar, dia sekolah dengan prestasi-prestadi hebat. Meskipun demikian, setiap
pulang sekolah Bahar tak pernah lupa singgah di tepian Sungai Batang Hari.
Bahar berharap sebuah keajaiban bisa melihat ayahnya melambaikan tangan.
Berharap ayahnya melihat bahwa dia sudah sekolah. Berharap ayahnya datang
memberikan perlengkapan sekolah yang baru. Penuh harapan melihat seorang ayah
dengan keringatnya datang memeluk, mencium, dan memberi semangat agar dia
sanggup meraih impian.
Sampai pada hari ini,
warga pinggiran Sungai Batang Hari selalu menemukan Bahar masih berseragam
sekolah bermenung-menung di tepi sungai. Pukul dua siang Bahar duduk di tebing
menghadapkan kepalanya ke arah hulu, sesekali mengayunkan kakinya. Dia akan
pulang menjelang magrib. Begitu pun dengan hari-hari berikutnya. Satu yang
pasti, Bahar sangat merindukan ayahnya.
0 komentar:
Posting Komentar