Rabu, 17 Juni 2015

KISAH LAMA

Sudah jauh membuang pandang sampai nun negeri tak bertuan. Dada ini semakin sesak. Jauh dan dekatnya bumi terpijak. Namun, bunga yang dulunya tumbuh dengan elok itu tak bisa lagi dipandang lama. Samar-samar dilamun lebatnya ilalang.

   Alam siang itu sangat terang. Ria Maharani menghampiriku di tepian Danau Hijau. Tempat yang tak asing lagi seperti saban hari selalu menjadi tempat bertemu. Rindangnya pohon beringin besar-besar berjejer rapi mengelilingi perdanauan yang berukuran selebar dua puluh petakan sawah. Sejuknya aroma hamparan perkebunan teh sejauh mata memandang. Para-para rumpun hijau yang kokoh tadi memancarkan radiasinya merubah permukaan danau yang semula bening menjadi hijau.


   “Tak usahlah Abang merenung. Cobalah nyanyikan satu lagu untukku,” katanya bermuka manja.

   Tak ambil tempo lama. Aku langsung memetik dawai gitar dan mempersembahkan sebuah lagu kesukaannya That's Why (you go away) karya Michael Learns To Rock.

I won't forget the way you're kissing

The feelings so strong were lasting for so long

But I'm not the man your heart is missing ....

Sampai pada syair itu, aku tak melanjutkan. Ria bergeming. Wajahnya yang sahdu tanpa berbedak dan bergincu itu berubah layu. Ia terpana. Terpana bukan mendengar suaraku yang tak sejalan dengan nada--karena perkara itu sudah mafhum. Aku tidaklah pandai bersenandung nyanyian barat. Tapi dia terbuai pada arti dan bunyi denting gitar mengikuti setiap bait lagu lama itu.

“Aku teringat cerita tempo hari, Abang. Aku tak kuat. Aku tak sanggup,” ungkapnya mengiba.

“Tak usahlah risau, dunia masih lapang. Jalani saja!”

Sesaat kemudian terdengar suara aneh meliuk-liuk di daun telinga.

“Lapaaaaang! Ya, anak ayam pun tahu dunia ini lapang dan luas dari Sabang sampai Marauke. Siang bolong masih juga di tempat tidur. Pantas saja tak ada perempuan yang menyukaimu. Bermimpi dan bermimpi yang kau tahu. Dasar pemalas!” Demikian suara ledakan yang keluar dari bibir ibuku yang cerewet tak tertanggungkan. Sebabnya tiada lain, kecuali anak muda gagah yang sudah lima tahun menamatkan SMA, tapi masih juga menompang hidup dengan orangtua. Menyedihkan.

Tak salah Ibu murka. Agaknya aku harus lebih dulu memperjuangkan hidup ini. Masa depan yang cerah untuk membanggakan keluarga. Pejantan dewasa, kuat tenaganya, dan sehat jiwa tak mungkin harus selalu menompang orangtua.

Dalam pada itu. Mengamalkan kalimat keras yang bercampur meteor dari planet Yupiter barusan. Aku terbawa pada kisah lama. Mozaik usang dan gelap yang sebenarnya sudah lama terkubur dalam bumi paling dasar. Saat anak darah mulai mengebu-gebu. Saat sentimen melambung-lambung. Oh, sungguhlah indah kenangan masa berseragam putih abu-abu.

Bermula dari kelakuan curi-curi pandang. Manfaatkan keadaan dalam kesempitan untuk merayu anak gadis orang. Menipu guru dengan alasan ke kamar kecil, padahal ingin mengintip wajah si cinta pertama di kelas sebelah. Meletakkan bunga matahari dalam laci sang pujaan hati. Berkirim salam. Sampai pada berkirim surat kaleng. Inilah namanya masa penjajahan tingkat senior: menghalalkan segala cara untuk menggait hati prempuan idola untuk sudi kiranya menerima cinta.

   Namun perjuangan itu jarang-jarang berbuah hasil. Bahkan hampir bisa dikatakan gagal total bin tamat. Pandanganku tak berbalas. Rayu tak digubris. Saat mengintip sang pujaan malah ketahuan. Akhirnya dilempar spidol oleh guru. Bunga matahari dengan kejam masuk tong sampah nun pojok sekolah. Salam dapat balasan waalaikumsalam. Surat kaleng malah menjadi hiasan mading sekolah. Dunia ini tidak adil kadang-kadang.

Walaupun demikian, aku tak pernah mengenal kata menyerah. Telah jauh hari mengatur taktik jitu untuk mendapatkan cinta. Karena sejak masih lugu-lugunya di bangku sekolah dasar sampai delapan tahun setelahnya. Aku mengalami keterpurukan: tak tahu apa itu cinta yang kata orang bisa membuat raga seakan melambung di lautan Eropa.

Nah, karena ingin merasakan raga seakan melambung-lambung di lautan Eropa. Berjuang setengah gila untuk mendapatkan kekasih mejadi harga mati yang harus segera menyusun eksperimennya di lapangan. Meskipun harus mengorbankan harga diri sahabat seperjuangan. Hirzan, dialah yang selalu bersedia menjadi tumbalnya. Anak pak lurah yang berbaik hati teman sehidup-semati.

“Tolonglah, Zan! Bila aku berhasil mendapatkan hatinya, ada sesuatu hadiah istimewa untuk dirimu,” kataku berbisik.

“Tapi ....”

“Lakukan saja intruksiku nanti, oke!.”

“Apakah lima jari tak akan melayang nantinya, Bay?”

“Bila berhasil akan kubelikan lukisan wajah Abang Andrea Hirata untukmu.”

Mendengar nama Andrea Hirata, hidung Hirzan mengembang. Iming-iming yang berhubungan dengan tokoh idolanya sejak tahun 2006 itu membuat pertahanan harga dirinya patah. Tanpa berpikir sejauh bumi ke bulan, ia setuju mengikuti sebuah rencana, yakni rencana mendapatkan cinta yang harus berani mengaku sudah 46 kali menerima penolakan.

Ketika bel istirahat sekolah berbunyi. Taktik pertama, meminta Hirzan menyelipkan sepucuk surat di dalam laci seorang wanita yang tertuju. Aksinya berhasil dengan sempurna tanpa tercium gerak-geriknya.

Untuk, Ria Maharani yang manis

Aku tunggu di Danau Hijau pukul 4 petang. Penting!

Ttd

Sahabatmu yang nanti kau akan tahu

   Waktu berlalu. Ria pun masuk dalam perangkap. Wanita yang sudah berlaku kejam sebanyak 46 kali itu tampak risau menanti di tepian Danau Hijau. Aku dan Hirzan clingak-clinguk macam leher induk angsa kehilangan anaknya. Bersembunyi dan membaca suasana di antara pohon-pohon teh yang berjejer beraturan seperti barisan anak SD.

   Taktik kedua siap berlaku. Hirzan tegang tak alang kepalang, ia tahu kelakuan agak senewen ini akan mengundang penyakit andai saja sampai tercium oleh kepala sekolah kami. Barangkali akan sulit juga aksi ini diketahui orang lain. Keadaan dan kondisi Danau Hijau sangat sepi dan agak jauh dari rumah penduduk. Lagi pula bagian wajah Hirzan sudah coreng-moreng oleh arang. Kepala sampai kakinya sudah ditutupi oleh sarung, hampir menyerupai pasukan ninja.

   “Ah, aku tak sanggup, Abay.” Hirzan mengeluh.

   “Kalau kau tak mau melakukan rencana itu, maka tidak ada pula lukisan Abang Andrea Hirata,” kataku agak mengancam.

   Namun Hirzan yang polos tidak bisa berdaya bila sudah mendengar nama sastrawan berambut ikal yang baik perangainya dan rajin pula menabung itu. Sudah lama ia jatuh hati pada karangan berjudul Laskar Pelangi. Hirzan pun lekas berdiri dan pelan-pelan melangkah menuju keberadaan Ria.

   “Hati-hati!”

   Hirzan tergopoh-gopoh mendekati Ria. Bersembunyi di tiap-tiap batang beringin. Merangkak macam tentara dalam medan perang. Berguling-guling macam orang jatuh dari bukit andalas. Sementara wanita berwajah sahdu yang sudah berani menolak cintaku itu tak menyadari bahwa sedang masuk kandang singa. Ia melempar pandang jauh-jauh. Mengamati perkebunan teh peninggalan Belanda. Menikmati indahnya puncak gunung tertinggi di Pulau Sumatera, Gunung Kerinci dengan ketinggian 3.805 mdpl. Sambil menikmati sejuknya angin berayun-ayun menerpa rambut panjangnya. Ia pun semakin terbuai rayuan eloknya ciptaan Tuhan di bumi surga ini.

   Tak butuh waktu lama, Hirzan sudah berada sekitar dua meter di belakang punggung Ria. Sejurus kemudian, tanpa menunggu aba-aba, tanpa menggunakan peri kemanusiaan, tanpa mengamalkan pancasila nomor tiga. Demi sahabatnya, ia mendorong tubuh anak gadis itu terpelancat ke dalam Danau Hijau. Tanpa mengambil ancang-ancang lagi, pejantan polos itu pun menghilang.

   Ria Maharani mati kutu berkecipung dalam Danau Hijau karena aku tahu dia tidaklah pandai berenang. Dengan kegagahan bak pahlawan membawa semangat kemerdekaan, aku pun beranjak dari keberadaan semula. Berlari dengan kecepatan kilat dan melompat ke dalam Danau Hijau untuk menyelamatkan si pujaan hati. Alamat baik, Ria tertolong tepat pada waktunya. Aku senang tak bisa terungkap dengan kata-kata. Penjajahan tingkat dramatis sudah berlaku: hampir mengorbankan nyawa anak gadis orang demi cinta.

   Taktik terakhir segera melayang. Tanpa sedikit pun merasa telah bersalah, aku berusaha menenangkan nafasnya yang hampir selesai berhembus. Muka Ria Maharani mendadak pucat-pasi macam manyat. Ia menggigil berat. Matanya terbuka tapi kosong. Kakinya kejang-kejang. Aku panik. Tak tahu akan meminta tolong pada siapa. Menekan bagian pergelangan tangan dan mencari urat nadinya, alhamdulillah ternyata masih bergerak.

   “Ria ... Ria ....”

   Tiada jawaban. Aku gelisah bercampur pening tujuh keliling.

   Aku pun membuka baju yang di badan dan menyelimuti tubuhnya. Namun belum ada reaksi tanda-tanda kehidupan. Ria Maharani masih kaku dengan mata kosong. Aku gusar. Pikiranku tertuju pada kantor polisi, penjara, dan amukan warga. Aku tak bermaksud membunuh, apalagi berencana akan membunuh anak orang.

   “Terimakasih, Abay. Terimakasih sudah menolongku.”

   Aku bersyukur. Ria Maharani tersenyum dan bersuara lebut. Aku selamat dari calon tersangka pembunuhan terencana. Bukan main besar resiko yang telah terjalani dalam rencana cinta ini.

Setelah tragedi hampir menghilangkan nyawa anak gadis orang itu, aku baru percaya pada sebuah kalimat para motivator yang pernah kubaca: ambillah resiko yang terbesar, agar mendapatkan sesuatu yang besar. Bila diterawang lebih jauh lagi, agaknya pilosofi ini juga bisa digunakan untuk memperjuangkan masa depan, yakni ambillah resiko terbesar dalam mencapai cita-cita, lamban laun pasti akan mendapatkan pencapaian yang besar pula. Demikian juga dalam memperjuangkan perkara cinta. Namun, hati-hati! Biasanya sesuatu yang didapat dengan terlalu memaksakan diri bisa menjadi petaka.

   Nah, pencapaian sudah dekat. Akhirnya aku dapat memetik hasil yang besar. Ketika mengucapkan kata cinta untuk yang ke-47 kalinya, hati wanita yang berpalang jeruji besi itu kandas juga pertahanan jiwanya. Ria Maharani menerima cintaku dengan lapang dada. Lagu karya Michael Learns To Rock sudah cukup membuat raganya terbang, sementara aku melambung-lambung di lautan Eropa. Sampai saat ini, ia pun tak tahu menahu bahwa tiga jurus rahasia menakhlukkan cinta sudah dipercobakan pada dirinya. Kasihan!

   Hari-hari yang kami jalani bagai dunia milik berdua. Itulah penyakit cinta dan tak bisa diganggu gugat. Kami acapkali berkunjug ke Danau Hijau. Bersenda gurau. Berjanji akan selamanya. Dalam hati, aku sudah tanamkan rniat mencari kerja dengan sungguh-sungguh untuk masa depanku dan Ria Maharani. Serta kami berencana akan bulan madu ke Eropa pada musim salju. Oh, indahnya!

   Untung tak berpihak. Nasib baik pun tak kunjung datang. Tujuh tahun menjalin kisah asmara. Tujuh tahun saling menjaga kasih dan sayang. Aku menelan empedu. Pahit dan perih di menggoyahkan dada. Wanita yang sudah kuperjuangkan setengah mati malah dijodohkan oleh orangtuanya dengan sahabat sejatiku sendiri.

   “Maaf, Bay. Aku tak bermaksud melangkahimu, tapi beginilah takdir berlaku. Tak selalu yang kita punya bisa dimiliki selamanya dan tak selalu juga yang diperjuangkan akan selamanya berpihak. Takdir masih ada sebagai penghalang.” Begitu ujar Hirzan menenagkan hati.

   Aku tak sanggup berkata-kata.

   “Kemas ijazah, bungkus pakaian, pakai baju bagus, dan merantaulah kau ke kota! Mana ada perempuan yang sudi bercinta-cinta saja. Kau sangka cinta bisa jadi biaya hidup. Pemalas!” Begitu celetup ibuku di tengah-tengah kemalangan.

   Aku tak berani menyanggah.

   Kemudian hari, Ria Maharani menemuiku di Danau Hijau. Inilah titik darah terakhir. Ia duduk disampingku dan kami sama-sama melabukan pandang nun puncak runcing si Gunung Kerinci yang perkasa.

   “Abay, barangkali kisah kita memang harus sudah berakhir. Maaf!”

   Aku tercenun dalam-dalam. Berusaha menerima walaupun berat. Meratap pelan-pelan dalam hati. Mengenang susah-payah perjuangan mendapatkan cinta Ria Maharani. Teringat akan janji selamanya. Terkenang rencana bulan madu di Eropa. Menadahkan kepala ke langit, dunia terasa sempit. Namun, hidup harus tetap berlanjut. Tak boleh berhenti sampa di sini. Barangkali di dunia bagaian lain akan bertemu yang sejati dan selamanya sampai mati.

   “Tak mengapa Ria Maharani. Tak mengapa!”

   Sesuatu kalimat yang sulit, tapi harus terungkap. Merelakan yang tak bisa dilepaskan. Ikut berbahagia orang yang dicinta akan merajut kebahagian bersama takdir hidupnya. Maka, sebagai laki-laki sejati, di situlah saatnya berkata,“Aku bahagia melihat dikau bahagia.” Lalu pegang jurus bahagia dalam kecewa nomor wahid: bagaimana pun takdir berlaku, hidup harus tetap berlanjut. Seribu bahkan jutaan bentuk rupa-rupa kebahagiaan telah menanti dengan tangan terbuka. Cari dan jemputlah di mana pun dia berada.

0 komentar:

Posting Komentar