Pagi
terus melaju menjadi siang, petang, dan berganti malam. Pintak masih saja
murung. Murung merindukan ayah dan ibunda yang telah meninggalkannya. Sekaligus meninggalkan puing-puing kisah yang masih menempel erat di benaknya.
Berkali-kali ia coba melupakan, namun tak sanggup. Sekumpulan memori indah menghatui
pikiran Pintak saban malamnya.
Pintak
tak pernah membayang hidupnya akan terombang-ambing seumpama kapal tanpa
nahkoda. Lontang-lantung tak tentu arah tertuju. Tersiksa hati dan tenaga.
Seribu perih berkecamuk dalam dadanya. Hingga bikin air matanya menetes tanpa
tahu cara meredamnya.
Saudara
jauhnya pernah berkata, Pintak adalah perempuan amat periang dan suka menolong
sesama kawan. Akan tetapi setelah Amirudin---ayahnya meninggal,perlahan Pintak
menjadi gadis pemurung. Lebih menyakitkan lagi, seminggu ayahnya meninggal,
Pintak kembali menerima kemalangan. Ibunya juga meninggal.
Hanya
Pintak seorang penghuni rumang panggung tua itu. Sanak saudaranya jauh.
Keluarga dari pihak ayah dan ibunya secara garis besar pergi merantau ke negeri
seberang. Ia sebatang kara, tak punya siapa-siapa kecuali pensil dan buku
gambar yang sempat dibelikan oleh Amirudin sehari sebelum ajalnya menjemput.
Itulah teman Pintak sepanjang hari.
Bila
rindu, Pintak mengambil poto ayah dan ibunya, lalu ia melukiskan di kertas
gambar. Jika ingin mengadukan kesepian kepada sosok ayah, ia cium kopiah
ayahnya. Jika merindu Aminah---ibundanya, Pintak mengambil daster ibunya. Ia
pakai daster itu sampai terlelap.
Tiada satu pun dewapenolongnya dalam
mengarungi kebuntuan jalan.
Satu
bulan berlalu kemalangan Pintak, kampung Semurup digemparkan kabar burung. Ada
yang berkata Pintak sudah tak waras karena tidak pernah tampak keluar rumah.
Ada warga mengatakan Pintak sudah meninggal dunia sebab tiada lagi tanda-tanda
kehidupan di rumah panggung itu. Hening, membisu, dan lengang.
“Kasihan
dia ... padahal ayahnya pernah bilang kalau Pintak sudah tamat SMA, ia akan
dibawa ke Jambi dan memasukkan anaknya di perguruan tinggi negeri,” kata Mak
Han kepada Muid.
“Apa
ada Pintak di dalam, Mak Wo?”
“Tak
tahulah, pintu kamarnya terkunci. Satu bulan setelah orang tuanya tak ada, kami
belum jumpa Pintak keluar rumah. Pergi ke sekolah pun tidak.”
“Aku
nak coba datangi Pintak,” Mak Han mengangguk.
Muid
menaiki anak tangga satu persatu dengan gagah. Ia ketuk pintu berkali-kali
tiada jawaban. Muid memutar gagang pintu, sekali putar pintu terbuka. Rumahnya
tak terkunci. Ruangan keluarga tidak terurus, dapur berantakan. Kain kotor
berhamburan tidak pada tempatnya. Ada yang nyangkut di kursi bambu dekat
jendela, di atas meja berserakan sisa-sisa nasi yang sudah mengering. Di
alang-alang dipenuhi jaring laba-laba. Seekor kucing belang tiga berjalan santai
ke arah Muid. Kucing itu menempelkan badannya di kaki Muid seolah hendak
mengadukan sesuatu.
Kuncing
belang tiada henti mengikuti langkah Muid. Mengeong-ngeong sembari terus
menempelkan badannya. Muid mengangkat kucing belang tiga itu, lalu berjalan
mendekati kamar Pintak. Kucing itu pun berhenti mengeong dan melepaskan diri
dari pangkuan Muid.
“Pintak
adakah kau di dalam?”Tiada jawaban.
“Ini
Bang Muid,” serunya sambil mengetuk pintu kamar Pintak.
Benar
kata warga, tiada lagi tanda-tanda kehidupan di rumah panggung ini. Kendati
demikian, Muid tak menyerah, ia mengetuk kamar Pintak berharap semuanya
baik-baik saja.
“Ntak,
Bang Muid mau bicara.” Suasana masih lengang.
Sepeluh
menit Muid bicara sendiri dengan pintu kamar, Muid mulai tak tenang. Ia putar
gagang pintu kamar, namun terkunci. Tak banyak akal lain, Muid memutuskan untuk
mendobrak pintu itu. Dengan tenaga penuh, dua kali menghatamkan badannya,
alhasil, pintu kamar terbuka. Kemudian dilihatnya sosok perempuan mungil sedang
duduk murung di kursi bambu. Mukanya mengarah ke jendela memandangi awan-awan.
Di tangannya tergegenggam pensil dengan buku gambar di dada.
Anehnya
sedikit pun Pintak tak terkejut atas kedatangan Muid. Ia membuang pandangnya
jauh-jauh. Pandagan itu sama sekali tidak bermakna. Muid menghampiri.
“Pintak
ini Abang Muid,” kata Muid menepuk pundak Pintak.
Pintak
masih diam.
“Ini
Bang Muid dari dusun sebelah.”
Tidak
ada angin tiada hujan, tiba-tiba Pintak membelokkan kepalanya ke arah Muid. Air
matanya perlahan meluncur. Muid tersenyum, akan tetapi Pintak membalas senyuman
itu dengan air matakian berderai. Tak ada suara, lama Pintak memandangi wajah
Muid. Lamat-lamat memandangi Pintak terjatuh dari kursinya dan terlentang di lantai.
Wajahnya pucat, dingin seperti tak punya darah lagi. Buku gambar di dadanya
terbuka dengan pensil masih ditangan.
“Astaga
....”
Sekonyong-konyong
Muid terperajat, ia mengangkat tubuh Pintak dan langsung membawanya ke klinik
desa. Langkahnya tercepuk-cepuk, panik tak kepalang. Sampai di sana Pintak
langsung diperiksa oleh salah seorang pegawai. Muid menunggu di luar ruangan
ditemani keringat yang tiada henti membasahi tubuhnya.
Sambil
menunggu kabar, Muid membuka lembaran buku gambar milik Pintak. Baru saja
menyibak lembaran utama, ia tercengang sekaligus terharu. Baru kali ini Muid
melihat gambarseindah ini. Seorang pria berkumis tipis dengan cangkul ditangan,
dan wanita paruh baya bertudung lebar. Pintak melukisnya nyaris sama dengan
wajah orang tuanya. Mereka berada di atas pematang sawah. Dengan pemandangan
sekeliling dihiasi bukit-bukit rindang, pohon kelapa, pondok beratapkan jerami.Bahkan
lebih bagus dari objek aslinya.
Muid
makin terkesima tatkala melihat di bagian atas tertulis sebuah sajak yang tulus.
Aku kesepian setelah Ayah dan Ibu tiada
Ayah pernah berkata tak akan
meninggalkannku seorang diri
Ibu pernah berjanji akan setia
menemaniku di sepanjang hari
Tapi mengapa aku ditinggal sendiri
bersama sepi?
CONTINUE....
CONTINUE....
0 komentar:
Posting Komentar