Rabu, 17 Juni 2015

SAJAK SEPI


Pagi terus melaju menjadi siang, petang, dan berganti malam. Pintak masih saja murung. Murung merindukan ayah dan ibunda yang telah meninggalkannya. Sekaligus meninggalkan puing-puing kisah yang masih menempel erat di benaknya. Berkali-kali ia coba melupakan, namun tak sanggup. Sekumpulan memori indah menghatui pikiran Pintak saban malamnya.
Pintak tak pernah membayang hidupnya akan terombang-ambing seumpama kapal tanpa nahkoda. Lontang-lantung tak tentu arah tertuju. Tersiksa hati dan tenaga. Seribu perih berkecamuk dalam dadanya. Hingga bikin air matanya menetes tanpa tahu cara meredamnya.
Saudara jauhnya pernah berkata, Pintak adalah perempuan amat periang dan suka menolong sesama kawan. Akan tetapi setelah Amirudin---ayahnya meninggal,perlahan Pintak menjadi gadis pemurung. Lebih menyakitkan lagi, seminggu ayahnya meninggal, Pintak kembali menerima kemalangan. Ibunya juga meninggal.
Hanya Pintak seorang penghuni rumang panggung tua itu. Sanak saudaranya jauh. Keluarga dari pihak ayah dan ibunya secara garis besar pergi merantau ke negeri seberang. Ia sebatang kara, tak punya siapa-siapa kecuali pensil dan buku gambar yang sempat dibelikan oleh Amirudin sehari sebelum ajalnya menjemput. Itulah teman Pintak sepanjang hari.
Bila rindu, Pintak mengambil poto ayah dan ibunya, lalu ia melukiskan di kertas gambar. Jika ingin mengadukan kesepian kepada sosok ayah, ia cium kopiah ayahnya. Jika merindu Aminah---ibundanya, Pintak mengambil daster ibunya. Ia pakai daster itu sampai terlelap.
Tiada satu pun dewapenolongnya dalam mengarungi kebuntuan jalan.
Satu bulan berlalu kemalangan Pintak, kampung Semurup digemparkan kabar burung. Ada yang berkata Pintak sudah tak waras karena tidak pernah tampak keluar rumah. Ada warga mengatakan Pintak sudah meninggal dunia sebab tiada lagi tanda-tanda kehidupan di rumah panggung itu. Hening, membisu, dan lengang.
“Kasihan dia ... padahal ayahnya pernah bilang kalau Pintak sudah tamat SMA, ia akan dibawa ke Jambi dan memasukkan anaknya di perguruan tinggi negeri,” kata Mak Han kepada Muid.
“Apa ada Pintak di dalam, Mak Wo?”
“Tak tahulah, pintu kamarnya terkunci. Satu bulan setelah orang tuanya tak ada, kami belum jumpa Pintak keluar rumah. Pergi ke sekolah pun tidak.”
“Aku nak coba datangi Pintak,” Mak Han mengangguk.
Muid menaiki anak tangga satu persatu dengan gagah. Ia ketuk pintu berkali-kali tiada jawaban. Muid memutar gagang pintu, sekali putar pintu terbuka. Rumahnya tak terkunci. Ruangan keluarga tidak terurus, dapur berantakan. Kain kotor berhamburan tidak pada tempatnya. Ada yang nyangkut di kursi bambu dekat jendela, di atas meja berserakan sisa-sisa nasi yang sudah mengering. Di alang-alang dipenuhi jaring laba-laba. Seekor kucing belang tiga berjalan santai ke arah Muid. Kucing itu menempelkan badannya di kaki Muid seolah hendak mengadukan sesuatu.
Kuncing belang tiada henti mengikuti langkah Muid. Mengeong-ngeong sembari terus menempelkan badannya. Muid mengangkat kucing belang tiga itu, lalu berjalan mendekati kamar Pintak. Kucing itu pun berhenti mengeong dan melepaskan diri dari pangkuan Muid.
“Pintak adakah kau di dalam?”Tiada jawaban.
“Ini Bang Muid,” serunya sambil mengetuk pintu kamar Pintak.
Benar kata warga, tiada lagi tanda-tanda kehidupan di rumah panggung ini. Kendati demikian, Muid tak menyerah, ia mengetuk kamar Pintak berharap semuanya baik-baik saja.
“Ntak, Bang Muid mau bicara.” Suasana masih lengang.
Sepeluh menit Muid bicara sendiri dengan pintu kamar, Muid mulai tak tenang. Ia putar gagang pintu kamar, namun terkunci. Tak banyak akal lain, Muid memutuskan untuk mendobrak pintu itu. Dengan tenaga penuh, dua kali menghatamkan badannya, alhasil, pintu kamar terbuka. Kemudian dilihatnya sosok perempuan mungil sedang duduk murung di kursi bambu. Mukanya mengarah ke jendela memandangi awan-awan. Di tangannya tergegenggam pensil dengan buku gambar di dada.
Anehnya sedikit pun Pintak tak terkejut atas kedatangan Muid. Ia membuang pandangnya jauh-jauh. Pandagan itu sama sekali tidak bermakna. Muid menghampiri.
“Pintak ini Abang Muid,” kata Muid menepuk pundak Pintak.
Pintak masih diam.
“Ini Bang Muid dari dusun sebelah.”
Tidak ada angin tiada hujan, tiba-tiba Pintak membelokkan kepalanya ke arah Muid. Air matanya perlahan meluncur. Muid tersenyum, akan tetapi Pintak membalas senyuman itu dengan air matakian berderai. Tak ada suara, lama Pintak memandangi wajah Muid. Lamat-lamat memandangi Pintak terjatuh dari kursinya dan terlentang di lantai. Wajahnya pucat, dingin seperti tak punya darah lagi. Buku gambar di dadanya terbuka dengan pensil masih ditangan.
“Astaga ....”
Sekonyong-konyong Muid terperajat, ia mengangkat tubuh Pintak dan langsung membawanya ke klinik desa. Langkahnya tercepuk-cepuk, panik tak kepalang. Sampai di sana Pintak langsung diperiksa oleh salah seorang pegawai. Muid menunggu di luar ruangan ditemani keringat yang tiada henti membasahi tubuhnya.
Sambil menunggu kabar, Muid membuka lembaran buku gambar milik Pintak. Baru saja menyibak lembaran utama, ia tercengang sekaligus terharu. Baru kali ini Muid melihat gambarseindah ini. Seorang pria berkumis tipis dengan cangkul ditangan, dan wanita paruh baya bertudung lebar. Pintak melukisnya nyaris sama dengan wajah orang tuanya. Mereka berada di atas pematang sawah. Dengan pemandangan sekeliling dihiasi bukit-bukit rindang, pohon kelapa, pondok beratapkan jerami.Bahkan lebih bagus dari objek aslinya.
Muid makin terkesima tatkala melihat di bagian atas tertulis sebuah sajak yang tulus.
Aku kesepian setelah Ayah dan Ibu tiada
Ayah pernah berkata tak akan meninggalkannku seorang diri
Ibu pernah berjanji akan setia menemaniku di sepanjang hari
Tapi mengapa aku ditinggal sendiri bersama sepi?

CONTINUE....

0 komentar:

Posting Komentar