Di kebun ubi itu warga
berkerumun melihat seorang bayi laki-laki bernasib malang. Dia ditemukan dalam keadaan tekstur tubuh menyedihkan. Musirah, seorang ibu muda tampak histeris, menjerit,
menangis, dan terdiam melihat perubahan paras bayi yang sudah berhari-hari
terkubur.
Ibu muda itu terdiam.
"Kau tau anak ini
suci, besih, orang tuanya yang hina."
"Aku malu ...
ayahnya entah di mana."
"Kau yang malu anak
tak berdosa jadi korban. Malulah sama Tuhan. Minta ampunlah sama Tuhan. "
Bibir Musirah bergetar.
Bertubi-tubi kesalahan ditujukan padanya. Sebagian warga bersusah payah
mengeluarkan bayi mungil itu dari tanah. Sudah enam hari ia terkubur di sana.
Bau menyengat menyumbat hidung siapa saja yang mendekat. Belatung satu per satu
keluar dari matanya. Sesekali belatung-belatung tadi jatuh, bergeliat di tanah
seperti cacing kepanasan.
Semua warga yang
menyaksikan penemuan itu merinding. Seorang pemuda perlahan mengeluarkan
batu yang menyumbat rongga mulut bayi yang tak berdosa itu. Seketika batu tersebut
lepas, terlihat lagi beberapa belatung meliuk-liuk melewati bibir yang mungil.
“Tengoklah anak kau ini,
kau mengandung sembilan bulan, setelah lahir kau bunuh. Apa kau tak pernah pikir
anak itu titipan ilahi.”
Musirah tak menjawab.
Semburat senja datang meghiasi langit sore. Tidak ada suara selain isakan
kecil, isakan kecil yang kian meninggi.
0 komentar:
Posting Komentar