Sabtu, 28 November 2015

ANTARA MALU DAN SAYANG

Dari matanya keluar belatung. Putih mata keluar darah kental. Mulutnya menganga karena dalam rongga itu ada batu sekepal tangan yang sengaja disumbatkan. Seluruh badannya tertanam. Hanya tampak kepala dengan paras kosong. Bau menyengat. Dia tak bernyawa lagi.

Di kebun ubi itu warga berkerumun melihat seorang bayi laki-laki  bernasib malang. Dia ditemukan dalam keadaan tekstur tubuh menyedihkan. Musirah, seorang ibu muda tampak histeris, menjerit, menangis, dan terdiam melihat perubahan paras bayi yang sudah berhari-hari terkubur.

"Tak ada otak kau kubur anak macam ini," seru seorang warga pada Musirah.

Ibu muda itu terdiam.

"Kau tau anak ini suci, besih, orang tuanya yang hina."
"Aku malu ... ayahnya entah di mana."
"Kau yang malu anak tak berdosa jadi korban. Malulah sama Tuhan. Minta ampunlah sama Tuhan. "

Bibir Musirah bergetar. Bertubi-tubi kesalahan ditujukan padanya. Sebagian warga bersusah payah mengeluarkan bayi mungil itu dari tanah. Sudah enam hari ia terkubur di sana. Bau menyengat menyumbat hidung siapa saja yang mendekat. Belatung satu per satu keluar dari matanya. Sesekali belatung-belatung tadi jatuh, bergeliat di tanah seperti cacing kepanasan.

Semua warga yang menyaksikan penemuan itu merinding. Seorang pemuda perlahan mengeluarkan batu yang menyumbat rongga mulut bayi yang tak berdosa itu. Seketika batu tersebut lepas, terlihat lagi beberapa belatung meliuk-liuk melewati bibir  yang mungil.

“Tengoklah anak kau ini, kau mengandung sembilan bulan, setelah lahir kau bunuh. Apa kau tak pernah pikir anak itu titipan ilahi.”

Musirah tak menjawab. Semburat senja datang meghiasi langit sore. Tidak ada suara selain isakan kecil, isakan kecil yang kian meninggi.



















0 komentar:

Posting Komentar