Sabtu, 20 Februari 2016

3.805 MDPL



           
Di tanah ini aku dilahirkan. Daratan tinggi dengan kesuburannya. Alam bersama keindahannya. Siapa saja menginjak bumi ini akan merasa berada di surga. Pagi hari, wajah tua berbondong-bondong berangkat ke padang sawah. Waktu petang menjelang, semburat senja mengantarkan para petani kembali pulang. Alam senantiasa menemani jalan mereka dengan lekuk keindahannya.

            Langkahku terhenti sejenak di ujung pematang. Menengadah ke puncak Bukit Barisan. Merenungi berliku kehidupan sudah jauh kutempuh. Dari siang hingga malam. Tenggelam bulan sampai bergantipajar. Kini alam terasa begitu sempit. Seakanditimpa beban mencapai berat satu ton, dan efek sampingnya bikin badanku tertanam ke tanah.


Meskipun berat, langkah ini tetap berlanjut.Perjalanan membawa harapan yang sudah patah. Mimpi-mimpi indah selayaknya seorang bidadari turun dari langit ketujuh untuk menghanyutkan biduk kertas, lalu setelah kian jauh berlayar, biduk itu karam. Tak sampai pada peraduannya.

Aku menelusuri jalanan belantara. Terbungkuk-bungkuk mendaki puncak nan tinggi. Dalam pendakian aku terkenang ucapan Neneksambil beruraian air mata. Dia memintaku janganlah cepat putus asa, janganlah menangis, dan jangan lemah dalam menjalani kerasnyakehidupan. Kelopak mata yang sudah kriput itu mengerti sekali penderitaan cucunya. Sejak kecil menanggung derita silih berganti. Bermacam bentuk cela dan hina. Sampai pada detik ini aku seperti berpijak di bumi berduri. Pedih.

“Semuanya pasti berlalu ... sabarlah,” katanya menabahkan.

Kalimat yang demikian selalu Nenek tancapkan dalam kalbuku. Ia yakin apa pun kesempitan dan kesusahan hidup pasti ada lapangnya. Menyakini apa pun impian seorang insan lamban laun akan berjumpa peraduannya. Nenek meyakini kemiskinan adalah sebuah anugrah dari Tuhan, bukanlah kebencian Tuhan pada maklukNya.

Masih kuingat juga kalimat Kakek, “Kalau kau bersedih lihatlah alam, ia bisa berikan kelapangan. Apa kau tak malu wajah bersedih mendapat tawa dari alam,” begitu ucapnya dikala aku merindukan Ayah dan Ibu.

Keadaan serba sulit, ingin kulanjutkan hidup ini namun aku tak sanggup lagi. Darah semangatku sudah hilang. Hilang entah ke mana, berkali-kali bangkit akhirnya terjatuh lagi, terpojok, dan seolah ragaku sudah tak hinggap lagi bersama badan.

Terkadang sempat terlintas pemberontakan di kepala, jikalau benar petuah alim ulama berkata Tuhan maha mendengar setiap permintaan hambaNya. Jika nyata setiap permintaan dari hambaNya akan terkabulkan. Mengapa hidupku begitu kacau? Sudah tujuh belas tahun hidup seperti mati. Tujuh belas tahun menanggung beban berat tak terkira. Tujuh belas tahun tak pernah mendapat kasih sayang yang sesungguhnya. Sudah tujuh belas tahun kemalangan hadir silih berganti. Apa seperti ini Tuhan maha adil?

Perlahan-lahan kucoba lengkungkan kepala mengarah dasar jurang. Bebatuan, batang-batang, lembah, rumpun-rumpun salak yang hidup tanpa ditanam dan tumbuh berkelompok di dasar jurang itu, mungkinsalah satu dari mereka bersedia mencabik ragaku, patahkan kaki, dan menancapkan durinya. Biarlah penghuni rimba menamatkan hidupku. Sekiranya Tuhan bersedia menghapus kepingan-kepingan pilu itu, barangkali hidupku tak berhenti sampai di sini.

Sekarang kudapati nasibku di sini, di ketinggian 3.805 Mdpl. Puncak Gunung Kerinci, melihat kejauhan sana membentang pemandangan indah Kota Jambi, Padang, dan Bengkulu. Lebih jauh lagi di sana tampak Samudera Hindia yang luas terlihat jelas. Sebelah timur Danau Bento, rawa berair jernih tertinggi di Sumatera. Di belakangnya Gunung Tujuh dengan kawah yang sangat indah dan tertinggi se Asia Tenggara, namun hampir tidak tersentuh.

Bila aku harus meniti kehidupan yang tak jelas ke mana akhirnya
Bawalah aku menuju alam semula tempat Engkau letakkan ruh ini ....

Kumajukan langkah mendekati kawah panas. Di bawah sana tampak seperti api menyala. Sesekali terdengar ledakan kecil dari material-materialMerapi. Pertikel-pertikel vulkanik menyala. Debu-debu vulkanik membumbung, bergumpal, menyumbat hidungku, semua itu tidak lagi aku pedulikan. Mataku tajam menatap kawah panas, tak berkedip,biarlahkawah api menghanguskan tubuhku.

Sedikit membelokkan kepala ke arah selatan. Seekor murai batu terbang ke arah timur. Di bawah naungan langit terhampar luas tanpa batas. Mataku mengikuti arah murai batu melayangkan dirinya menuju lembah, samar-samar ia membawaku melihat tiga orang pemuda tampak tergesa-gesa mendaki medan terjal. Semakin dekat salah satu dari mereka melambaikan tangan dengan paras tegang.

“Woi, hantu ...,” teriaknya lantang.

Pemuda berbadan tegap lebih dulu menakhlukkan Gunung Merapi tertinggi di republik Indonesia. Dia berlari sekuat tenaga mendekati keberadaanku di mulut kawah Merapi. Wajahnya garang, matanya tajam, mengepul asap dari hembusan nafasnya.

“Masih waras apa tidak kau, Muara? Buka mata kau, pasang telinga, kau mau selesaikan hidup dan mencampakkan diri ke kawah panas itu, bodoh nian kau.”

“Untuk apalahkau datang, tinggalkan aku sendiri, ini hidupku kalian tak perlu tahu, kalian tak pernah paham macam mana hidupku.”

“Karena kami paham makanya kami sampai sini, kami lebih paham lebih dari kau paham dengan hidup kau sendiri.”

Aku tersentak mendengar ucapannya. Zam tidak pernah berubah, suaranya yang berat dan lantang itu selalu mengena hati. Kata demi kata yang keluar dari mulutnya seperti solusi hidup tiap permasalahan. Zam melangkah sambil mengulurkan tangannya. Aku terharu melihat raut wajah penuh kekhawatiran itu, dia kawan karibku, kawan satu mimpi dan kawan satu perjuangan ingin takhlukkan dunia ini.

“Muara kau mereng betul,” kata Likwan menepuk pundakku.
“Kau itu mereng, Wan.”
“Kalau kau mati aku berdosa besar, Ra,” sambung Capung.
“Kenapa begitu?”
“Aku berdosa karena kau mati sebelum aku berhasil beli sapi dari Australia.”

Zam mendekat dengan paras garangnya.

“Tengoklah kami, Ra. Semangatlah Kawan, kito ini orang miskin, kito bisa mati sebelum waktunya kalau tak punya semangat.” Zam menggoyang-goyangkan badanku.

Tidak terasa air bening sudah bergenang dalam bola mataku. Mereka adalah tiga orang sahabat karib. Mereka selalu ada bagaimanapun keadaanku. Mereka seringkali hadirkan tawa dalam tiap-tiap duka. Zam, Likwan, dan Capung sudah bersusah payah hadir untuk menghebuskan semangat baru. Mereka memelukku erat, peluk persahabatan yang tak ternilai harganya.

Kedatangan mereka mengubah suasana dalam dadaku. Dada yang tadinya sesak mulai lapang. Membayangkan dan mengingat ucapan Kakek, kunikmati keindahan yang melingkari dataran tinggi pengunungan Andalas. Alam membentangi gugus barat Pulau Sumatera. Lengkungan alam bersandingan bukit berlapis-lapis. Jalanan berkelok-kelok bak angka delapan. Penurunan dan pendakian tajam yang diilengkapi awan suci beranak pinak berupa embun.

“Sekarang lihatlah alam di negeri kito ini, “ teriak Zam.

Kami beralih melihat maskot perkampungan surga ini: padang sawah. Ke mana pun memandang bagai permadani hijau menutupi sebagian lautan Hindia. Bila musim panen maka dia seumpama lautan emas. Rindang dan amat indah dipandang. Maskot kampung merangkap sebagai mahkota negeri Kerinci yang dikelilingi kawalan flora dari keturunan dipterocarpacae, leguminosae, lauraceace, mirtaceae.

Inilah Negeri Sekepal Tanah Surga….

Bersama mereka aku seperti ada di ruang mimpi. Pendakian tadinya membawa harapan yang sudah patah, ingatanku terlempar pada masa-masa menjalankan kuadrat hidup. Merantau jauh ingatanku pada masa silam bersama sahabat sejati. Aku terlempar menuju kepingan kisah yang kutemui di sepanjang hidupku.
Next..................... :)

0 komentar:

Posting Komentar