Langkahku terhenti
sejenak di ujung pematang. Menengadah ke puncak Bukit Barisan. Merenungi
berliku kehidupan sudah jauh kutempuh. Dari siang hingga malam. Tenggelam bulan
sampai bergantipajar. Kini alam terasa begitu sempit. Seakanditimpa beban mencapai
berat satu ton, dan efek sampingnya bikin badanku tertanam ke tanah.
Meskipun berat, langkah ini tetap
berlanjut.Perjalanan membawa harapan yang sudah patah. Mimpi-mimpi indah
selayaknya seorang bidadari turun dari langit ketujuh untuk menghanyutkan biduk kertas, lalu setelah kian jauh berlayar,
biduk itu karam. Tak sampai pada peraduannya.
Aku menelusuri jalanan belantara.
Terbungkuk-bungkuk mendaki puncak
nan tinggi. Dalam pendakian aku terkenang ucapan Neneksambil beruraian air
mata. Dia memintaku janganlah cepat putus asa, janganlah menangis, dan jangan
lemah dalam menjalani kerasnyakehidupan. Kelopak mata yang sudah kriput itu
mengerti sekali penderitaan cucunya. Sejak kecil menanggung derita silih
berganti. Bermacam bentuk cela dan hina. Sampai pada detik ini aku seperti
berpijak di bumi berduri. Pedih.
“Semuanya
pasti berlalu ... sabarlah,” katanya menabahkan.
Kalimat yang demikian selalu Nenek tancapkan
dalam kalbuku. Ia yakin apa pun kesempitan dan kesusahan hidup pasti ada
lapangnya. Menyakini apa pun impian seorang insan lamban laun akan berjumpa
peraduannya. Nenek meyakini kemiskinan adalah sebuah anugrah dari Tuhan, bukanlah kebencian Tuhan pada maklukNya.
Masih kuingat juga kalimat Kakek, “Kalau kau
bersedih lihatlah alam, ia bisa berikan kelapangan. Apa kau tak malu wajah
bersedih mendapat tawa dari alam,” begitu ucapnya dikala aku merindukan Ayah
dan Ibu.
Keadaan serba sulit, ingin kulanjutkan hidup
ini namun aku tak sanggup lagi. Darah semangatku sudah hilang. Hilang entah ke
mana, berkali-kali bangkit akhirnya terjatuh lagi, terpojok, dan seolah ragaku
sudah tak hinggap lagi bersama badan.
Terkadang sempat terlintas pemberontakan di
kepala, jikalau benar petuah alim ulama berkata Tuhan maha mendengar setiap
permintaan hambaNya. Jika nyata setiap permintaan dari hambaNya akan
terkabulkan. Mengapa hidupku begitu kacau? Sudah tujuh belas tahun hidup seperti mati. Tujuh belas tahun menanggung beban berat tak
terkira. Tujuh belas
tahun tak pernah mendapat kasih sayang yang sesungguhnya. Sudah tujuh belas tahun kemalangan hadir silih berganti.
Apa seperti ini Tuhan maha adil?
Perlahan-lahan kucoba lengkungkan kepala mengarah
dasar jurang. Bebatuan, batang-batang, lembah, rumpun-rumpun salak yang hidup
tanpa ditanam dan tumbuh berkelompok di dasar jurang itu, mungkinsalah satu
dari mereka bersedia mencabik ragaku, patahkan kaki, dan menancapkan durinya.
Biarlah penghuni rimba menamatkan hidupku. Sekiranya Tuhan bersedia menghapus
kepingan-kepingan pilu itu, barangkali hidupku tak berhenti sampai di sini.
Sekarang kudapati nasibku di sini, di
ketinggian 3.805 Mdpl. Puncak Gunung Kerinci, melihat kejauhan sana membentang
pemandangan indah Kota Jambi, Padang, dan Bengkulu. Lebih
jauh lagi di sana tampak Samudera Hindia yang
luas terlihat jelas. Sebelah timur Danau Bento, rawa berair jernih tertinggi di
Sumatera. Di
belakangnya Gunung Tujuh dengan kawah yang sangat indah dan tertinggi se Asia
Tenggara, namun hampir tidak tersentuh.
Bila aku
harus meniti kehidupan yang tak jelas ke mana akhirnya
Bawalah
aku menuju alam semula tempat Engkau letakkan ruh ini ....
Kumajukan langkah mendekati kawah panas. Di
bawah sana tampak seperti api menyala. Sesekali terdengar ledakan kecil dari material-materialMerapi. Pertikel-pertikel vulkanik menyala.
Debu-debu vulkanik membumbung, bergumpal, menyumbat hidungku, semua itu tidak
lagi aku pedulikan. Mataku tajam menatap kawah
panas, tak berkedip,biarlahkawah api
menghanguskan tubuhku.
Sedikit membelokkan kepala ke arah selatan. Seekor
murai batu terbang ke arah timur. Di bawah naungan langit terhampar luas tanpa
batas. Mataku mengikuti arah murai batu melayangkan dirinya menuju lembah,
samar-samar ia membawaku melihat tiga orang pemuda tampak tergesa-gesa mendaki
medan terjal. Semakin dekat salah satu dari mereka melambaikan tangan dengan
paras tegang.
“Woi, hantu ...,”
teriaknya lantang.
Pemuda berbadan tegap lebih dulu menakhlukkan
Gunung Merapi tertinggi di republik Indonesia. Dia berlari sekuat tenaga
mendekati keberadaanku di mulut kawah Merapi. Wajahnya garang, matanya tajam,
mengepul asap dari hembusan nafasnya.
“Masih waras apa tidak kau, Muara? Buka mata kau, pasang telinga, kau mau
selesaikan hidup dan mencampakkan diri ke kawah panas itu, bodoh nian kau.”
“Untuk apalahkau datang, tinggalkan aku sendiri, ini hidupku
kalian tak perlu tahu, kalian tak pernah paham macam mana hidupku.”
“Karena kami paham makanya kami sampai sini,
kami lebih paham lebih dari kau
paham dengan hidup kau sendiri.”
Aku tersentak mendengar ucapannya. Zam tidak
pernah berubah, suaranya yang berat dan lantang itu selalu mengena hati. Kata
demi kata yang keluar dari mulutnya seperti solusi hidup tiap permasalahan. Zam
melangkah sambil mengulurkan tangannya. Aku terharu melihat raut wajah penuh
kekhawatiran itu, dia kawan karibku, kawan satu mimpi dan kawan satu perjuangan
ingin takhlukkan dunia ini.
“Muara kau mereng betul,” kata Likwan menepuk
pundakku.
“Kau itu mereng, Wan.”
“Kalau kau mati aku berdosa besar, Ra,” sambung
Capung.
“Kenapa begitu?”
“Aku berdosa karena kau mati sebelum aku berhasil
beli sapi dari Australia.”
Zam mendekat dengan paras garangnya.
“Tengoklah kami, Ra. Semangatlah Kawan, kito
ini orang miskin, kito bisa mati sebelum waktunya kalau tak punya semangat.”
Zam menggoyang-goyangkan badanku.
Tidak terasa air bening sudah bergenang dalam
bola mataku. Mereka adalah tiga orang sahabat karib. Mereka selalu ada
bagaimanapun keadaanku. Mereka seringkali hadirkan tawa dalam tiap-tiap duka. Zam,
Likwan, dan Capung sudah bersusah payah hadir untuk menghebuskan semangat baru.
Mereka memelukku erat, peluk persahabatan yang tak ternilai harganya.
Kedatangan mereka mengubah suasana dalam
dadaku. Dada yang tadinya sesak mulai lapang. Membayangkan dan mengingat ucapan
Kakek, kunikmati keindahan yang melingkari dataran tinggi pengunungan Andalas.
Alam membentangi gugus barat Pulau Sumatera. Lengkungan alam bersandingan bukit
berlapis-lapis. Jalanan berkelok-kelok bak angka delapan. Penurunan dan
pendakian tajam yang diilengkapi awan suci beranak pinak berupa embun.
“Sekarang lihatlah alam di negeri kito ini, “ teriak Zam.
Kami beralih melihat maskot
perkampungan surga ini: padang sawah. Ke mana pun memandang bagai permadani
hijau menutupi sebagian lautan Hindia. Bila musim panen maka dia seumpama lautan
emas. Rindang dan amat indah dipandang. Maskot kampung merangkap sebagai mahkota negeri Kerinci yang dikelilingi kawalan
flora dari keturunan dipterocarpacae, leguminosae, lauraceace, mirtaceae.
Inilah Negeri
Sekepal Tanah Surga….
Bersama mereka aku seperti
ada di ruang mimpi. Pendakian tadinya membawa harapan yang sudah patah,
ingatanku terlempar pada masa-masa menjalankan kuadrat hidup. Merantau jauh
ingatanku pada masa silam bersama sahabat sejati. Aku terlempar menuju kepingan
kisah yang kutemui di sepanjang hidupku.
Next..................... :)
0 komentar:
Posting Komentar