Nostalgia: 9 tahun lalu
Hari itu pelajaran paling angker. Ya, matematika. Apalagi saat Pak
Zaini dengan gaya rambut gimbal Bob Marley mulai memasuki kelas sambil
membawa penggaris kuning berukuran dua meter. Tubuh bergetar sendiri.
Karena aku salah satu murid paling banyak mendapat azab yang amat pedih.
Sakitnya macam digigit lebah satu sangkar. Pelajarannya membosankan
bila ditaruh siang bolong.
Saat guru matematika itu sangat serius
menerangkan pembahasan mengubah skala suhu. Misalnya,
derajat
Fahrenheit menjadi Celcius, atau Calcius menjadi Reumur, dan seterusnya.
Karena tak paham, terpaksa menghabiskan pelajaran itu dengan memandang
wanita bak embun pagi yang duduk di sudut kanan depan, namanya Aisah
Nurjani. Dia murid wanita tercantik di sekolah kami. Wajahnya anggun,
lembut, dan berhias sederhana. Sungguh pemandangan terindah dalam temuan
hidup ini. Cantik paras Cinta Laura belum sebanding dengan keindahan
yang melekat pada Aisah Nurjani. Tapi, agaknya mereka berdua mempunyai
garis wajah yang hampir serupa.
Namun pandangan macam bujang
perayu tadi tak berbalas. Aku tak menyerah. Segera kuambil secarik
kertas,”Aisyah Nurjani, kita lihat burung bangau di sawah. Sekarang! ...
.” Isi secarik kertas yang kutulis. Kulipat membentuk pesawat, kemudian
melayangkan padanya.
Pelan-pelan pesawat itu berputar dua kali
di kepalanya. Setelah itu menuju keberadaan Pak Zaini. Aih, kacau. Maaf
Bapak, sungguh itu hanya sebuah pesawat mainan. Jangan dibaca tulisan di
dalamnya. Aku rela dihukum apapun. Berjemur sampai sore pun sanggup.
Ampun Pak, ampun. Berikan kembali pesawat sinting itu. Sambil pejamkan
mata permintaan ampun terucap dalam hati. Bergaya seperti orang tak
bersalah, padahal kakiku kejang-kejang.
Pesawat bedebah tadi menimpa kepala Pak Zaini. Walhasil, ia langsung balik badan.
“Pekerjaan siapa ini?,” celetupnya dengan muka masam.
Aku terperajat. Teman-teman seperjuangan lainnya hanya menunduk. Kakiku semakin kejang.
“Perbuatan siapa ini? Jujur… .”
“Baron … dia yang melempar pesawat kertas itu,” kataku menunjuk kawan
paling tampan di kelas. Dia juga yang berani mengganggu Aisah Nurjani.
Dalam keadaan seperti ini, sungguh aku membencinya.
“Bukan aku, Bapak Guru.” Baron membela diri.
“Ory pelakunya, Pak.” Teman satu perjuangan lainnya serempak mengarahkan jari telunjuk padaku.
Kasus kebodohan itu telah diketahui. Tiada lagi kata untuk membela
diri. Sang tersangkanya telah tertangkap. Rasakan itu kawan, makanya
jangan berbohong. Rasakan penggaris kuning itu melayang di pantatmu.
Berapa kali kawan? Seharusnya seratus, tapi dapat diskon 20%. Jadi
jumlah azab yang amat pedih itu berapa kawan? cuma 80 kali. Makanya,
belajarlah yang benar. Baru kelas enam SD sudah belagak kirim surat
segala. Jadi bagaimana ekspresi Aisah Nurjani? saat itu dia menangis,
katanya kalau Ibundanya tahu dia bisa dimarah habis-habisan. Aku semakin
tersiksa dalam opini semacam ini. Jadi bagaimana dengan pantatmu? Ya
merah pekatlah kawan. Pas sampai di rumah, aku mandi 2 jam. Tahukah
kawan? 1 jam 50 menit untuk berendam di dalam bak, dan sisanya
benar-benar mandi.
Makanya, jangan naik darah kalau ada orang
lain yang lebih tampan darimu. Lagi pula baru tingkat SD sudah mengerti
mengerti cinta-cinta. Cinta monyet jangan ditiru. Nanti kau jadi monyet
dan belajarlah jujur. Ini kisah dulu, kawan? Diamlah jangan menjawab.
Ingat, jujur dan rendah hati Itu yang utama. Tanpa dua pilar itu hidup
ini tak akan terasa indah. Cukup, kawan! Panas telingaku mendengar
celoteh itu. Iya, memanglah diriku yang kurang ngajar.
Corat-coret tahun 2014
Jumat, 12 Februari 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar