Jumat, 12 Februari 2016

NOSTALGIA

Nostalgia: 9 tahun lalu

Hari itu pelajaran paling angker. Ya, matematika. Apalagi saat Pak Zaini dengan gaya rambut gimbal Bob Marley mulai memasuki kelas sambil membawa penggaris kuning berukuran dua meter. Tubuh bergetar sendiri. Karena aku salah satu murid paling banyak mendapat azab yang amat pedih. Sakitnya macam digigit lebah satu sangkar. Pelajarannya membosankan bila ditaruh siang bolong.

Saat guru matematika itu sangat serius menerangkan pembahasan mengubah skala suhu. Misalnya,
derajat Fahrenheit menjadi Celcius, atau Calcius menjadi Reumur, dan seterusnya. Karena tak paham, terpaksa menghabiskan pelajaran itu dengan memandang wanita bak embun pagi yang duduk di sudut kanan depan, namanya Aisah Nurjani. Dia murid wanita tercantik di sekolah kami. Wajahnya anggun, lembut, dan berhias sederhana. Sungguh pemandangan terindah dalam temuan hidup ini. Cantik paras Cinta Laura belum sebanding dengan keindahan yang melekat pada Aisah Nurjani. Tapi, agaknya mereka berdua mempunyai garis wajah yang hampir serupa.

Namun pandangan macam bujang perayu tadi tak berbalas. Aku tak menyerah. Segera kuambil secarik kertas,”Aisyah Nurjani, kita lihat burung bangau di sawah. Sekarang! ... .” Isi secarik kertas yang kutulis. Kulipat membentuk pesawat, kemudian melayangkan padanya.

Pelan-pelan pesawat itu berputar dua kali di kepalanya. Setelah itu menuju keberadaan Pak Zaini. Aih, kacau. Maaf Bapak, sungguh itu hanya sebuah pesawat mainan. Jangan dibaca tulisan di dalamnya. Aku rela dihukum apapun. Berjemur sampai sore pun sanggup. Ampun Pak, ampun. Berikan kembali pesawat sinting itu. Sambil pejamkan mata permintaan ampun terucap dalam hati. Bergaya seperti orang tak bersalah, padahal kakiku kejang-kejang.

Pesawat bedebah tadi menimpa kepala Pak Zaini. Walhasil, ia langsung balik badan.
“Pekerjaan siapa ini?,” celetupnya dengan muka masam.
Aku terperajat. Teman-teman seperjuangan lainnya hanya menunduk. Kakiku semakin kejang.
“Perbuatan siapa ini? Jujur… .”
“Baron … dia yang melempar pesawat kertas itu,” kataku menunjuk kawan paling tampan di kelas. Dia juga yang berani mengganggu Aisah Nurjani. Dalam keadaan seperti ini, sungguh aku membencinya.
“Bukan aku, Bapak Guru.” Baron membela diri.
“Ory pelakunya, Pak.” Teman satu perjuangan lainnya serempak mengarahkan jari telunjuk padaku.

Kasus kebodohan itu telah diketahui. Tiada lagi kata untuk membela diri. Sang tersangkanya telah tertangkap. Rasakan itu kawan, makanya jangan berbohong. Rasakan penggaris kuning itu melayang di pantatmu. Berapa kali kawan? Seharusnya seratus, tapi dapat diskon 20%. Jadi jumlah azab yang amat pedih itu berapa kawan? cuma 80 kali. Makanya, belajarlah yang benar. Baru kelas enam SD sudah belagak kirim surat segala. Jadi bagaimana ekspresi Aisah Nurjani? saat itu dia menangis, katanya kalau Ibundanya tahu dia bisa dimarah habis-habisan. Aku semakin tersiksa dalam opini semacam ini. Jadi bagaimana dengan pantatmu? Ya merah pekatlah kawan. Pas sampai di rumah, aku mandi 2 jam. Tahukah kawan? 1 jam 50 menit untuk berendam di dalam bak, dan sisanya benar-benar mandi.

Makanya, jangan naik darah kalau ada orang lain yang lebih tampan darimu. Lagi pula baru tingkat SD sudah mengerti mengerti cinta-cinta. Cinta monyet jangan ditiru. Nanti kau jadi monyet dan belajarlah jujur. Ini kisah dulu, kawan? Diamlah jangan menjawab. Ingat, jujur dan rendah hati Itu yang utama. Tanpa dua pilar itu hidup ini tak akan terasa indah. Cukup, kawan! Panas telingaku mendengar celoteh itu. Iya, memanglah diriku yang kurang ngajar.

Corat-coret tahun 2014

0 komentar:

Posting Komentar