
Wajahnya merah merona tercoret gincu. Di telinganya terselip dedaunan kering, agaknya seperti daun beringin. Mukanya lebih lusuh dari pemulung jalanan. Tak memakai sandal, rambut kriting terurai sebahu, di pergelangan tangannya melingkar karet-karet gelang, hidung pesek, gigi kuning. Sungguh, tak mampu aku gambarkan rupanya di kertas putih.
“Oh,anakku, anakku. Oh,anakku.” Celotehnya hilir mudik di bawah terik matahari.
Melihat rupanya mengusik memori ingatan pada Ibu. Kupandang wanita semberaut kusut itu. Hati berdebar-debar. Di belakangnya berbaris beberapa bujang teraniaya.
Teraniaya karena tak punya pekerjaan maksudku. Tepatnya para bujang di kampung kami penyandang gelar penyakit malas. Atau lebih tepat para pengangguran kelas ikan sarden. Mereka membuntuti wanita tercoreng gincu bak anak ayam merindu induknya.
“Orang gila … orang gila … .”
“Aihihi ... .” Berkali-kali ia balas dengan tawa, nampaklah gigi kuning merona itu.
Semakin meriah mereka bersorak, semakin menjadi kegirangan . Barangkali ia menyadari bahwa sorak-sorai dikumandangkan adalah suatu pujian untuknya. Hukum alam, sebab ia tak mampu menafsir bagaimana bunyi sebuah pujian atau mungkin telah lupa. Atau barangkali tak pernah tahu sama sekali.
Matahari semakin panas. Karena masih tergolong anak kecil aku tak berani melayangkan tinju pada para bujang teraniaya itu. Melihat mereka berlaku mungkar, darah semakin panas. Dalam hal ini hanya Taher yang bisa diandalkan. Kalau sahabat yang pemberani itu ada di sini, maka akan mati kutu para bujang teraniaya itu. pikirku dalam hati.
Ketika para bujang teraniaya tadi berlalu. Aku langsung mendekati manusia tercoreng gincu dan berniat membawanya ke rumah dan memberinya makan. Selintas mengajak bercerita, namun ia acuh disetiap pertanyaan. Saat bertanya apakah sudah makan? ia tersenyum, kala bertanya mengapa menyebut anakku-anakku? lalu ia terdiam menghilangkan senyuman.
Pintak, atau orang kampung kami memanggilnya dengan nama Pintak Breh. Nenek pernah berkisah masa lalu Pintak. Dulu ia tinggal di perbukitan. Mendirikan sebuah gubuk sederhana beratap daun enau. Ia hidup bersama suami dan satu orang anak laki-laki. Mereka peladang kopi dan peternak ayam. Peladang dan peternak tekun, orang-orang kampung kami menjulukinya. Sebab tiada hari tanpa bekerja. Tak peduli dunia, acuh pada kehidupan bermasyarakat, tak tahu agama, tak peduli lebaran, dan menjauh dari keramaian. Kehidupan mereka bak keluarga murai yang menjadikan hutan belantara sebagai surga kehidupan.
Sang suami bernama Sunar, ia gigih bekerja sehingga Pintak sangat mengidolakan suaminya sendiri bak seorang pahlawan. Dalam kehidupan mereka penuh kasih sayang, pengertian, dan tak pernah bertengkar. Saat sang suami lelah, maka istri terus bekerja. Ketika sang istri sakit, sang suami menjaga sampai sehat. Begitu jua sebaliknya yang terjadi pada keluarga murai ini.
Sejauh ini, bagaimana menurutmu?
0 komentar:
Posting Komentar