
5 Desember. Kampung paling pelosok dalam naungan Provisi Riau di terpa senja nan elok. Menyinari negeri lancang kuning, sekaligus menambah keindahan di alam ini. Dari segala penjuru, cahaya itu tampak seperti sekelompok warna yang bergabung menjadi satu. Indahnya kuning keemasan berpantulan menembus muka bumi. Dalam hitungan detik ia kembali melambung-lambung menemani langit yang tenang. Menawan mata kala memandangnya.
Orang-orang keluar rumah demi melihat senja itu. Ada yang memandang dari gedung bertingkat, pohon kapas, jembatan gantung, dan dari atas menara masjid. Sedangkan kami, sahabat dari kecil ini berbaring di atas sebuah batu sebesar bapak gajah yang ada di tepian sungai. Membuang pandang jauh-jauh dan berlabu mengamati senja yang damai. Suara beriak air mengalir menyajikan irama gemuruh mengiringi keindahan. Panorama yang aduhai ini membawaku membayangkan kehidupan di masa depan.
Berawal dari khayalan saat masih kecil dulu. Ketika ikut nenek ke pasar sabtu, di sana aku menangkap kegiatan kernet mobil tambang yang bergantungan di mulut pintu. Berceloteh keras-keras menarik perhatian para penumpang. Di tangannya kulihat uang ribuan yang seolah-olah dirinya akan membagikan pada pejalan kaki atau para-para beruntung. Namun, nyatanya bukan begitu.
“Alangkah enak nian bila menjadi kernet mobil tambang. Banyak uang yang dipegang,” ujarku dalam hati.
Lebih dari itu. Saat melihat Pak Polisi lalu lintas berseragam hijau muda sedang sibuk mengamankan para pengguna jalan yang ceroboh. Aku sempat berkeinginan menjadi sepertinya. Membayangkan tubuh kecil dan agak pendek ini berseragam khas lalu lintas, aih, aku tergelak-gelak sendiri.
Sinting dari itu. Ini terjadi ketika melihat seorang buk bidan di sebuah rumah sakit yang ada di kota madya. Oh, betapa gilanya diriku bila suatu saat nanti bisa berprofesi mulia seperti itu. Pasti jenis kelaminku akan diganti oleh Om Dekik Yassir yang agak ramah tapi sadis saat sedang murka itu.
Jauh lebih meleset. Dulu aku sangat suka melihat bulan. Sempat berpikir bagaimana cara pergi ke sana.
“Kalau kau mau pergi ke bulan. Buatlah tangga dari sekarang, Ry,” kicau Agung Pribadidua dengan ledak tawanya.
Lebih parah dari itu. Saat duduk di bangku kelas 2 SMP , kampung kami sedang heboh perkara perampokan. Berita koran, media sosial, dan di TVRI Nasional juga sedang mengabarkan informasi yang meresahkan ketentraman masyarakat ini. Nah, ketika orang-orang sibuk membenci para perampok, sedangkan aku ingin menjadi si tangan panjang kelas berat. Namun, sekarang aku sudah insyaf. Khayalan itu adalah sebuah kebodohan yang memalukan.
Namun ada khayalan yang paling tinggi dalam sejarah renungan malamku. Mungkin karena efek gemar membaca. Atau dampak pernah menciptakan sebuah sajak puisi yang pernah kubacakan saat merayakan hari ibu itu. Sehingga berniat ingin menjadi seorang penulis. Untung-untung bisa mengikuti jejak Kakanda Andrea Hirata, atau paling tidak agak seperti Bunda Asma Nadia dengan karya melangit itu, mungkin. Tapi, setelah berpikir seratus kali, siapalah aku bila mampu seperti mereka. Tulisanku tiada bagusnya, bahkan Pak Isa Alamsyah sering menetawakan tulisan yang hampir serupa cakar ayam. Setidaknya anak kampungan sudah berani berkhayal.
Yang tengah berbaring di sampingku, ia menatapku dengan mata elang. Agaknya seperti ingin berkata sesuatu.
“Sobat! tadi aku berkhayal meminang Ulya Fathiya . Tapi, Oryza datang menggagalkan semua rencana itu,” kata Agung sembari menunjuk mukaku.
“Alamak, suram sekali,” jawabku senang.
“Tadi aku berkhayal punya sapi dua puluh sembilan ekor. Sapi itu gemuk-gemuk. Yang jantan paling besar aku jadikan pekerja, sementara yang lain aku rawat dan akan dijual saat raya Qurban nanti. Aku jadi juragan, Coy,” papar Jev Indra menambahkan. Namun, kami tak pedulikan khayalan sahabat jenaka itu. Memanglah hanya hanya itu yang ada di benakknya.
Arief Siddiq Razaan agaknya tampak benci mendengar khayalan kami. Sorotan matanya mendadak macam anjing minta kawin.
“Ah, kalian. Berkhayal nomor satu. Yang penting itu cari jalan menuju khayalan, bukan menguras energi otak hanya untuk melamunkan nasib saja,” celetupnya garang.
Kami yang merasa dilecehkan ini serempak bergurau sambil mencekik batang lehernya. Lain hal dengan laki-laki yang agak cepat dewasa itu. Di lamunan senja nan elok, ia tak menggunakan daya pikirnya untuk berkhayal sebuah kesuksesan atau keindahan hidup di masa depan. Ketika kami melambungkan pikiran menuju langit ke tujuh, sedangkan ia sibuk memperbaiki tulisan tentang akhlak baik itu. Saat kami memaparkan khayalan tadi, Arief pura-pura mendengarkan. Padahal ia tak hiraukan kami. Anak itu tak sudi memanfaatkan otaknya larut dalam khayalan. Entah akan jadi apa sahabat kami di masa akan datang, setidaknya pasti dia akan menjadi orang hebat dan berguna bagi masyarakat luas.
Ketika senja telah melenyapkan diri. Bulan mulai tampak mengkerutkan keningnya. Bintang-bintang telah berserakan menemani langit. Beriak air mengalir tak lagi menemani, ia telah tertutup rapat-rapat sesuai kuadratnya ketika malam hari tak diperlukan lagi oleh sawah. Lantas orang-orang kampung berduyun meninggalkan senja, kembali pada markas masing-masing. Dan kami masih berada di batu besar ini. Tempat terindah untuk merana sambil menanti bulan penuh dan terus berkhayal.
0 komentar:
Posting Komentar