Sudah jauh membuang pandang sampai nun negeri tak bertuan. Dada ini semakin sesak. Jauh dan dekatnya bumi terpijak. Namun, bunga yang dulunya tumbuh dengan elok itu tak bisa lagi dipandang lama. Samar-samar dilamun lebatnya ilalang.
Alam siang itu sangat terang. Ria Maharani menghampiriku di tepian Danau Hijau. Tempat yang tak asing lagi seperti saban hari selalu menjadi tempat bertemu. Rindangnya pohon beringin besar-besar berjejer rapi mengelilingi perdanauan yang berukuran selebar dua puluh petakan sawah. Sejuknya aroma hamparan perkebunan teh sejauh mata memandang. Para-para rumpun hijau yang kokoh tadi memancarkan radiasinya merubah permukaan danau yang semula bening menjadi hijau.
Beli Tiket Pesawat Online..
Beli Sekarang www.tiketturindo.com
Rabu, 17 Juni 2015
HARAPAN
Anisa sangat risau. Berkali-kali gadis kecil berpipi tebal itu menyelinapkan kepalanya di jendela kamar. Melabukan pandang menuju jalan setapak desa. Mengamati burung pipit berkicau. Sejak pagi matanya berbinar, namun sekarang berubah layu. Ia tak sabar ingin memberi kejutan.
Matahari mulai redup. Masyarakat yang melintas di jalan setapak tak lagi ramai seperti tadi. Hatinya gamang sendiri kalau-kalau harapan berbanding terbalik dengan kenyataan.
Kian risau, ia menuju ambang pintu. Mengamati orang-orang berlalu. Berharap di antara beberapa laki-laki tua bertubuh tegap yang hendak ke masjid itu, ada sosok ayah melambaikan tangan membawa hadiah dari rantau. Katanya, setelah azan asar tulang punggung keluarga itu akan sampai di rumah. Meskipun kabar itu salah, Anisa masih menanti.
Matahari mulai redup. Masyarakat yang melintas di jalan setapak tak lagi ramai seperti tadi. Hatinya gamang sendiri kalau-kalau harapan berbanding terbalik dengan kenyataan.
Kian risau, ia menuju ambang pintu. Mengamati orang-orang berlalu. Berharap di antara beberapa laki-laki tua bertubuh tegap yang hendak ke masjid itu, ada sosok ayah melambaikan tangan membawa hadiah dari rantau. Katanya, setelah azan asar tulang punggung keluarga itu akan sampai di rumah. Meskipun kabar itu salah, Anisa masih menanti.
SAJAK SEPI
Pagi
terus melaju menjadi siang, petang, dan berganti malam. Pintak masih saja
murung. Murung merindukan ayah dan ibunda yang telah meninggalkannya. Sekaligus meninggalkan puing-puing kisah yang masih menempel erat di benaknya.
Berkali-kali ia coba melupakan, namun tak sanggup. Sekumpulan memori indah menghatui
pikiran Pintak saban malamnya.
Pintak
tak pernah membayang hidupnya akan terombang-ambing seumpama kapal tanpa
nahkoda. Lontang-lantung tak tentu arah tertuju. Tersiksa hati dan tenaga.
Seribu perih berkecamuk dalam dadanya. Hingga bikin air matanya menetes tanpa
tahu cara meredamnya.
Saudara
jauhnya pernah berkata, Pintak adalah perempuan amat periang dan suka menolong
sesama kawan. Akan tetapi setelah Amirudin---ayahnya meninggal,perlahan Pintak
menjadi gadis pemurung. Lebih menyakitkan lagi, seminggu ayahnya meninggal,
Pintak kembali menerima kemalangan. Ibunya juga meninggal.
Hanya
Pintak seorang penghuni rumang panggung tua itu. Sanak saudaranya jauh.
Keluarga dari pihak ayah dan ibunya secara garis besar pergi merantau ke negeri
seberang. Ia sebatang kara, tak punya siapa-siapa kecuali pensil dan buku
gambar yang sempat dibelikan oleh Amirudin sehari sebelum ajalnya menjemput.
Itulah teman Pintak sepanjang hari.
Bila
rindu, Pintak mengambil poto ayah dan ibunya, lalu ia melukiskan di kertas
gambar. Jika ingin mengadukan kesepian kepada sosok ayah, ia cium kopiah
ayahnya. Jika merindu Aminah---ibundanya, Pintak mengambil daster ibunya. Ia
pakai daster itu sampai terlelap.
Langganan:
Postingan (Atom)